Suara.com - Komisi Yudisial (KY) telah melakukan pemantauan terhadap proses persidangan kasus Tragedi Kanjuruhan di Pengadilan Negeri Surabaya. Pemantauan tersebut telah dilakukan sebelum koalisi masyarakat sipil melakukan permohonan ke kantor KY atas beberapa keganjilan yang ada.
Juru Bicara KY, Miko Ginting mengatakan, KY melakukan pemantauan secara langsung untuk lima berkas perkara dalam kasus Tragedi Kanjuruhan. Tak hanya itu, laporan dari koalisi masyarakat sipil juga akan dijadikan catatan untuk proses pemantauan dan pengawasan lebih lanjut.
"Sebelum permohonan pemantauan diajukan oleh koalisi masyarakat dan tim advokasi Aremania Menggugat, Komisi Yudisial sudah memutuskan untuk melakukan pemantauan terhadap persidangan dan perilaku hakim dalam perkara ini," kata Miko dalam siaran persnya, Kamis (19/1/2023).
Beberapa keganjilan yang dilaporkan koalisi masyarakat sipil meliputi akses yang terbatas untuk pengunjung hingga lima terdakwa yang dihadirkan secara daring. Kemudian, ada temuan diterimanya anggota Polri sebagai penasihat hukum dalam persidangan pidana oleh majelis hakim.
Baca Juga: Komisi X DPR Bahas Tindak Lanjut Kasus Tragedi Kanjuruhan dengan Keluarga Korban
Terkait akses persidangan, kata Miko, pihaknya berpandangan bahwa sidang terbuka untuk umum berbeda dengan penyiaran persidangan secara langsung. Adapun penentuan penyiaran sidang secara langsung berada pada domain ketua majelis hakim.
Atas hal itu, KY mendorong ketua majelis dapat mempertimbangkan tiga aspek penting. Pertama, akses dan partisipasi masyarakat, keselamatan dan keamanan para pihak terkait, hingga integritas pembuktian dalam memeriksa dan memutus perkara ini.
"Untuk itu, Komisi Yudisial mendorong Ketua Majelis Hakim dalam perkara ini dapat mempertimbangkan tiga aspek penting," ucap Miko.
Dorong KY Lakukan Pemantauan
Koalisi masyarakat sipil yang terdiri dari LBH Pos Malang, LBH Surabaya, YLBHI, KontraS, Lokataru Foundation, dan IM57+ Institute meminta KY untuk melakukan pengawasan atas jalannya persidangan. Tujuannya, agar proses persidangan dapat diakses secara luas oleh publik.
Perwakilan koalisi dari KontraS, Andi Muhammad Rezaldi mengatakan, masyarakat sipil akhirnya tidak bisa melakukan pemantauan atau pengawasan atas proses yang berjalan karena akses yang terbatas.
Padahal, azas sidang terbuka untuk umum telah ditegaskan dalam Pasal 13 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
"Padahal kalau kita merujuk pada KUHP atau Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, proses persidangan itu harus terbuka untuk umum," jelas Andi.
Keganjilan kedua terkait tidak dihadirkan para terdakwa secara langsung di ruang persidangan juga bertentangan dengan regulasi yang ada. Andi menyebut, dalam KUHP misalnya, mewajibkan untuk menghadirkan terdakwa di dalam proses persidangan.
"Juga dari segi urgensi memungkinkan untuk para terdakwa hadir di dalam persidangan pidana, terlebih lagi sekarang sudah dicabut keputusan berkaitan dengan kebijakan PPKM oleh pemerintah," ucap dia.
Terkait adanya anggota Polri yang menjadi penasihat hukum, koalisi menilai hal itu sebagai bentuk pembangkangan terhadap hukum. Sebab, anggota Polri tidak memiliki wewenang untuk melakukan pendampingan hukum dalam persidangan pidana.
Andi mengatakan, hal itu bertentangan dengan Pasal 16 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Kata dia, profesi yang berhak mengenakan atribut toga dan melakukan pendampingan hukum dalam persidangan pidana adalah seorang advokat.
"Jadi pembiaran atau diterimanya anggota polri sebagai penasihat hukum menurut kami dapat merusak atau melecehkan sistem hukum di Indonesia," beber Andi.
Oleh sebab itu, koalisi meminta KY untuk melakukan pengawasan atau pemantauan secara langsung di Pengadilan Negeri Surabaya. Informasi teranyar, KY telah menerjunkan timnya untuk melakukan pengawasan karena kasus ini menjadi atensi yang perlu dipantau.
"Kami meminta kepada KY untuk memantau keganjikan tadi yg mengarah pada atensi pelanggaran hukum, karena kami khawatir dari berbagai keganjilan tadi, proses persidangan pidana didua hanya formalitas atau bisa dimaksudkan untuk gagal," pungkas dia.
Sidang Perdana
Sidang perdana kasus Tragedi Kanjuruhan yang menewaskan 135 orang telah digelar di Pengadilan Negeri Surabaya, Jawa Timur pada Senin (16/1/2023) lalu.
Dalam persidangan tersebut, Jaksa Penuntut Umum (JPU) membacakan dakwaan terhadap lima orang terdakwa, yakni Ketua Panpel Arema FC Abdul Haris, Petugas Keamanan Kanjuruhan Suko Sutrisno dan Danki 3 Brimob Polda Jawa Timur nonaktif AKP Hasdarman.
Kemudian, Kabag Ops Polres Malang nonaktif Kompol Wahyi Setyo Pranoto dan Kasat Samapta Polres Malang nonaktif AKP Bambang Sidik Achmadi. Dalam sidang dengan agenda pembacaan dakwaan itu, JPU menjerat kelimanya dengan pasal kelalaian, yakni Pasal 359 KHUP.
JPU menilai, para terdakwa lalai sehingga mengakibatkan kematian orang. Dalam Tragedi Kanjuruhan ini sebanyak 135 orang tewas.
"Karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati," kata Hari Basuki salah satu jaksa dalam persidangan di Pengadilan Negeri Surabaya.
Menanggapi dakwaan JPU, Adikarya Tobing selaku penasihat hukum tiga terdakwa dari unsur kepolisian akan mengajukan nota keberatan atau eksepsi yang disampaikan pada Jumat (20/1/2023) mendatang.
"Kami dari tim pendamping kuasa hukum tiga terdakwa dakwaan JPU dan sepakat melakukan eksepsi atas surat dakwaan yang sudah dibacakan kepada majelis hakim," katanya.