Suara.com - Sepanjang tahun 2022, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mencatat ada 61 kasus serangan terhadap jurnalis di Tanah Air. Tren tersebut mengalami peningkatan jika dibandingkan tahun 2021 yang tercatat 43 kasus.
Ketua AJI Indonesia Sasmito Madrim menyatakan, ada delapan indikator yang bisa digunakan untuk mengukur keamanan para jurnalis di Indonesia. Poin pertama, yakni jurnalis dan awak media bisa menjadi sasaran ancaman, pelecehan, hingga pengawasan.
"Pertama, jurnalis dan awak media bisa menjadi sasaran ancaman, pelecehan atau pengawasan. Jadi kita tidak hanya melihat jurnalis, tapi juga awak pekerja media yang juga terlibat dalam kerja-kerja jurnalistik," kata Sasmito dalam diskusi daring, Senin (16/1/2023).
Indikator kedua dalam mengukur keamanan jurnalis adalah tidak adanya serangan secara fisik. Namun, pada praktiknya, para jurnalis begitu rentan menjadi korban serangan bahkan ditangkap ketika sedang meliput aksi unjuk rasa.
Indikator nomor tiga adalah organisasi media tidak dipaksa untuk tutup. Salah satunya adalah Peraturan Menteri Kominfo nomor 5 tahun 2020 tentang Penyelenggara Sistem Elektronik Privat yang bisa menjadi ancaman bagi organisasi media.
Berikutnya, impunitas terhadap aktor yang melakukan serangan terhadap jurnalis. Catatan AJI Indonesia, tahun 2022 ada satu kasus kekerasan yang menyasar jurnalis Tempo, Nurhadi yang telah diadili di Pengadilan Negeri Surabaya, Jawa Timur.
Indikator selanjutnya adalah organisasi media harus melindungi kesehatan dan keselamatan staf dan pekerja lepas mereka. Kata Sasmito, hal ini juga masih sangat minim dijumpai di perusahaan-perusahaan media di Indonesia.
Minimnya SOP keamanan, khususnya soal penanganan kekerasan seksual di kantor media masih menjadi potret kenyataan yang ada. Bahkan, di tingkat Dewan Pers sekalipun, SOP penanganan kasus kekerasan seksual juga belum ada.
"Mudah-mudahan di 2023 kami bisa mendorong soal SOP baik di Dewan Pers atau di perusahaan media," ucap Sasmito.
Baca Juga: AJI Indonesia Catat Empat Serangan Terhadap Jurnalis di Papua Sepanjang Tahun 2022
Indikator selanjutnya adalah langkah-langkah perlindungan sosial untuk semua staf termasuk karyawan sementara dan pekerja lepas. Sasmito menyebut, ada regulasi yang mengatur terkait BPJS Ketenagakerjaan, BPJS Kesehatan ataupun asuransi lainnya.
"Tapi hasil riset AJI nanti bisa dipaparkan teman-teman Divisi Ketenagakerjaan. Itu memang masih sedikit sekali teman-teman pekerja media yang punya jaminan perlindungan sosial," tambahnya.
Sasmito menambahkan, indikator selanjutnya adalah jurnalis tidak secara rutin melakukan sensor diri karena takut akan hukuman, pelecehan, ataupun serangan lainnya. Menjelang Pemilu 2024 mendatang, sensor semacam ini akan menguat karena ada beberapa perusahaan media yang dalam tanda kutip berafiliasi dengan partai politik tertentu.
"Tentu perlu ada riset bersama, bagaimana kita membongkar sensor-sensor di perusahaan media menjelang Pemilu 2024," jelas Sasmito.
Terakhir, kerahasiaan sumber yang dilindungi oleh hukum dan harus dihormati. Menurut Sasmito, ada beberapa kasus narasumber yang semestinya dilindungi seperti diatur dalam Undang-Undang nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
"Tapi kemudian menjadi sasaran pelaporan ya oleh orang-orang yang tidak suka dengan pemberitaan. Jadi 8 indikator ini yang kami gunakan untuk mengukur keamanan jurnalis di Tanah Air," pungkas Sasmito.
Regulasi
Sejumlah regulasi dalam bentuk undang-undang yang membahayakan keselamatan jurnalis turut menjadi perhatian AJI Indonesia. Tujuannya, untuk melihat bentuk ancaman terhadap kebebasan pers di Tanah Air.
Regulasi pertama adalah Undang-Undang nomor 19 tahun 2016 tentang ITE yang masih menjadi ancaman serius bagi para jurnalis. Koordinator Bidang Advokasi AJI Indonesia, Erick Tanjung menyebut, pasal karet semacam itu seringkali menjerat jurnalis di dalam kerja-kerja liputannya.
"Ada Pasal 27 ayat 3 jo Pasal 45 ayat 3 yang masih menjadi ancaman terkait pencemaran nama baik. Kemudian Pasal 28 ayat 2 jo Pasal 45 ayat 2 yang itu terkait SARA. Ini seringkali menjadi pasal karet untuk mengkriminalisasi jurnalis dan media di Indonesia," jelas Erick.
Regulasi kedua adalah Undang-Undang nomor 1 tahun 1946 tentang peraturan hukum pidana. Khusus di Pasal 14 dan 15 terkait berita bohong, masih menjadi masalah yang serius.
Regulasi berikutnya yang menjadi ancaman bagi kebebasan pers adalah Undang-Undang nomor 27 tahun 2022 terkait perlindungan data pribadi. Dalam catatan AJI Indonesia, ada sejumlah pasal yang menjadi ancaman bagi jurnalis, yakni Pasal 4 ayat 2d, Pasal 64 ayat 4, Pasal 65 ayat 2, dan Pasal 67 ayat 2.
"Ketika seorang jurnalis mengungkap sebuah kasus investigasi misalnya, itu orang bisa pakai pasal data pribadi ini. Ini mengekang supaya kerja liputan tidak boleh," jelas Erick.
Berikutnya adalah Peraturan Menteri Kominfo nomor 5 tahun 2020 tentang penyelenggaraan sistem elektronik. Menurut Erick, hal itu bisa menjadi ancaman kebebasan pers.
"Karena ada pasal karet di Permenkominfo ini salah satunya tidak boleh menyiarkan informasi yg mengganggu ketertiban umum atau informasi rahasia di pemerintah atau pejabat negara," ucap dia.
Kemudian adalah Undang-Undang nomor 1 tahun 2023 tentang KUHP. AJI Indonesia dalam hal ini masih menemukan sebanyak 17 pasal yang dapat mempidanakan jurnalis. Terakhir adalah Undang-Undang Cipta Kerja dan Perppu nomor 2 tahun 2022 yang disahkan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi).
"Rezim sekarant menunjukkan rezim yang otoriter dengan menerbitkan Perppu yang tentu masih banyak catatan terkait kesejahteraan pekerja bahkan jurnalis," beber Erick.