Suara.com - Salah satu keluarga korban tragedi Kanjuruhan, Devi Athok menyesalkan proses persidangan yang digelar di Pengadilan Negeri Surabaya, Jawa Timur. Hal itu karena sidang tidak diperbolehkan untuk disiarkan langsung oleh media massa dan jurnalis.
Selaku keluarga korban, ia mempertanyakan kebijakan PN Surabaya yang tidak memberbolehkan adanya tayangan langsung dari proses peradilan tersebut.
"Kami (Aremania) tidak diperbolehkan datang, kemudian juga media tidak diperbolehkan mengekspos (siaran langsung), ada apa. Peristiwa ini bukan kasus asusila, ini merupakan tragedi," kata Devi di Malang, Jawa Timur pada Senin (16/1/2023).
Berdasarkan permintaan dari majelis hakim, PN Surabaya menyatakan proses persidangan tragedi Kanjuruhan tidak diperbolehkan untuk disiarkan langsung.
Devi Athok merupakan ayah dari NBR (16) dan NDA (13) yang menjadi korban dalam peristiwa yang terjadi di Stadion Kanjuruhan itu.
Proses autopsi juga telah dilakukan pada kedua putrinya yang merupakan warga Kecamatan Bululawang, Kabupaten Malang.
Apabila sidang disiarkan langsung, ia mengatakan persidangan bisa dikawal oleh seluruh pihak, tak terkecuali Presiden Joko Widodo.
"Seharusnya semua warga Indonesia mengetahui (jalannya persidangan), termasuk Presiden Jokowi bisa melihat bagaimana perkembangan persidangan di Surabaya," lanjutnya,
Meskipun para terdakwa dikenakan Pasal 359 KUHP tentang kelalaian yang menyebabkan orang mati dan Pasal 360 KUHP tentang kelalaian yang menyebabkan luka berat, Devi tetap berharap proses sidang disiarkan langsung sehingga masyarakat bisa mengawalnya.
Baca Juga: Jaksa Bacakan Dakwaan Bagi 5 Terdakwa Kasus Kanjuruhan yang Tewaskan 135 Orang
"Walaupun pasal yang dikenakan hanya kealpaan, tapi jika kami hadir dan media bisa melakukan siaran langsung jalannya persidangan, kita bisa mengawal penegakan hukum di Indonesia," katanya.
Sidang perdana kasus Tragedi Kanjuruhan yang menewaskan 135 orang pascapertandingan antara Arema FC melawan Persebaya Surabaya itu digelar di Pengadilan Negeri Surabaya pada Senin (16/1/2023).
Dalam persidangan tersebut, Jaksa Penuntut Umum (JPU) membacakan dakwaan terhadap lima orang terdakwa yakni Ketua Panpel Arema FC Abdul Haris, Petugas Keamanan Kanjuruhan Suko Sutrisno dan Danki 3 Brimob Polda Jawa Timur nonaktif AKP Hasdarman.
Kemudian, Kabag Ops Polres Malang nonaktif Kompol Wahyi Setyo Pranoto dan Kasat Samapta Polres Malang nonaktif AKP Bambang Sidik Achmadi.
Pada 1 Oktober 2022, terjadi kericuhan usai pertandingan antara Arema FC melawan Persebaya Surabaya dengan skor akhir 2-3 di Stadion Kanjuruhan, Kabupaten Malang. Kekalahan itu menyebabkan sejumlah suporter turun dan masuk ke dalam area lapangan.
Kerusuhan tersebut semakin membesar dimana sejumlah flare dilemparkan termasuk benda-benda lainnya. Petugas keamanan gabungan dari kepolisian dan TNI berusaha menghalau para suporter tersebut dan pada akhirnya menggunakan gas air mata.
Akibat kejadian itu, sebanyak 135 orang dilaporkan meninggal dunia dan menyebabkan ratusan orang lainnya mengalami luka berat dan ringan. [ANTARA]