Suara.com - Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi Gerindra Habiburokhman menyentil Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) lantaran kurang gercep atau bergerak cepat menangani perkara perkosaan terhadap A, anak usai 17 tahun di Lahat, Sumatra Selatan.
Habiburokhman menyoroti ramainya kasus tersebut akibat vonis ringan terhadap pelaku.
"Bisa sampai vonis ringan saya pikir karena sejak awal kita lalai, tidak maksimal memberikan perlindungan kepada korban. Sehingga mungkin korban yang secara struktural keluarganya lemah bisa diintimidasi, bisa ditekan, dan dipaksa menerima vonis yang begitu ringan," kata Habiburokhman dalam raker dengan LPSK di Komisi III DPR, Senin (16/1/2023).
Padahal seharusnya, vonis ringan tidak perlu terjadi apabila LPSK berinisiatif jemput bola sejak awal kasus. Tetapi kenyataannya, kasus itu luput dari pantauan LPSK.
"Yang seperti ini saya pikir perlu dimaksimalkan pak. Jemput bola kirim tim ke sana sejak awal, persidangan dipantau kinerja jaksanya sampai jaksa berhubungan dengan siapa dan lain sebagainya," kata Habiburokhman.
Habiburokhman melihat adanya upaya dari pihak keluarga yang mencari keadilan untuk korban atas vonis ringan kepada pelaku. Mulai dari mencari keadilan di media sosial hingga ke Jakarta, namun mereka tidak mencari ke lembaga formal, semisal LPSK.
Bahkan, menurut Habiburokhman, pengacara kondang Hotman Paris lebih gercep dalam menanggapi perkara perkosaan tersebut.
"Pada akhirnya korban malah ke Jakarta ketemu Pak Hotman Paris, mencari keadilan iya kan ke orang yang sebetulnya nggak wajib ya, yang wajib itu kita pak memberikan jaminan mereka mendapatkan keadilan," kata Habiburokhman.
Menurut Habiburokhman, tidak hanya LPSK yang kecolongan. Melainkan juga DPR dalam hal ini Komisi III DPR.
"Oke, sekarang jaksanya sudah dievaluasi katanya tim JPO nya akan dikenakan hukuman. Tapi ini kita agak sedikit kecolongan pak, bukan hanya LPSK, kami juga kecolongan," kata Habiburokhman.
Kajari dan Kasipidum
Sebelumnya heboh di media sosial setelah vonis super ringan dalam kasus pencabulan anak di bawah umur di Lahat, Sumatera Selatan, akhirnya memakan dua korban.
Adalah Kajari Lahat Nilawati dan Kasi Pidum Kejari Lahat Frans Mona yang dicopot dari jabatannya.
Keduanya dinilai bertanggungjawab atas munculnya tuntutan tujuh bulan pidana penjara yang berujung vonis 10 bulan dari hakim terhadap dia pelaku pemerkosaan anak dibawah umur.
Penonaktifan atau pencopotan Kajari dan anak buahnya itu disampaikan Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Sumatera Selatan Sarjono Turin di Palembang, Senin (9/1/2023) sore.
Jelas Turin, ada beberapa pejabat lain yang dinonaktifkan atau dicopot. Yakni tim Jaksa Penuntut Umum Kejari Lahat yang menangani langsung perkara pemerkosaan terhadap siswi SMA di Lahat berinisial A yang tergolong masih anak karena baru berusia 17 tahun.
“Ya jadi dinonaktifkan sementara atas keputusan pimpinan untuk mempermudah proses pemeriksaan,” tegasnya.
Sementara Kasi Penkum Kejati Sumsel Mohd Radyan menyebutkan dalam pemeriksaan ditemukan adanya dugaan penyimpangan, penyalahgunaan wewenang, dan tidak melakukan penelitian syarat formil.
Dugaan penyimpangan ini ditemukan dari hasil eksaminasi yang dilakukan Kejati Sumsel terhadap mereka yang terlibat.
Di tempat terpisah Kapuspenkum Kejagung Ketut Sumedana juga membeberkan, hasil eksaminasi menunjukkan penggunakan Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Para pelaku dikenakan Pasal 81 Ayat (1) UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dengan ancaman maksimal 15 tahun penjara dan paling singkat 3 tahun penjara, berikut denda Rp 300.000.000 dan paling sedikit Rp 60.000.000.
“Hasil eksaminasi menunjukkan surat tuntutan Jaksa Penuntut Umum kurang mencerminkan dan memenuhi rasa keadilan di masyarakat. Sehingga menimbulkan reaksi yang masif di berbagai platform media dan masyarakat termasuk keluarga,” tukas mantan Mantan Wakajati Bali itu.