Suara.com - Pengakuan dan penyesalan Presiden Joko Widodo (Jokowi) atas serangkaian pelanggaran HAM berat masa lalu yang disampaikan di Istana Negara, Rabu (11/1/2023) dipandang beberapa pihak sebagai sesuatu yang tak berarti apabila tidak ada tindak lanjut yang konkret.
Pengakuan itu disampaikan Jokowi sebagai tindak lanjut atas laporan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM yang berat masa lalu.
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menilai, pada dasarnya rekomendasi perihal pengakuan atas adanya kejahatan kemanusiaan bukanlah hal baru. Sejak tahun 1999, Komnas HAM sudah menyampaikan rekomendasi demikian kepada pemangku jabatan Presiden saat itu.
Selain itu, permintaan maaf juga harus dilakukan, mengingat pelanggaran HAM berat adalah akibat penyalahgunaan kekuasaan badan atau pejabat pemerintahan. Atas hal itu, pengakuan dan permintaan maaf kepada korban pelanggaran HAM berat masa lalu tidak dapat berdiri sendiri.
"Pengakuan dan permintaan maaf harus ditindaklanjuti dengan rangkaian tindakan untuk memberikan hak-hak korban secara keseluruhan berupa pengungkapan kebenaran dan upaya pemulihan sesuai dengan hukum, tidak sekedar jaminan sosial," kata Koordinator KontraS, Fatia Maulidiyanti dalam laman kontras.org, Kamis (12/1/2023).
Sepanjang pemantauan dan catatan KontraS, terdapat indikasi bahwa muatan dalam model pemulihan yang selama ini terjadi menyalahi prinsip keadilan. Misalnya, tidak berpihak kepada korban sebagai pemangku utama kepentingan.
Fatia menyebut, pada beberapa kesempatan pemerintah 'tertangkap tangan' membuat peraturan dan kegiatan yang seolah ingin pelanggaran HAM berat selesai. Hanya saja, tidak sesuai dengan standar penegakan HAM yang berlaku secara universal.
Tidak hanya itu, beberapa hal seperti rehabilitasi fisik, psikologis, jaminan kesehatan, beasiswa bahkan nama baik telah direkomendasikan berbagai lembaga negara sejak awal reformasi. Mulai dari Komnas HAM, DPR RI, hingga Mahkamah Agung.
Di sisi lain, lanjut Fatia, pemerintah terus membentuk dan berpindah dari satu tim ke tim lainnya. Hanya saja, sejauh ini tidak pernah sungguh mengimplementasi rekomendasi-rekomendasi yang telah ada.
Baca Juga: 'Megawati Permainkan Jokowi dan Ganjar' Rocky Gerung Sebut Ketum PDIP Ogah Ketipu Istana dan Survei
"Selain itu, beberapa pemulihan seperti rehabilitasi fisik, psikologis, jaminan kesehatan, peningkatan keterampilan serta beasiswa bahkan telah dikerjakan oleh LPSK jauh sebelum Tim PPHAM dibentuk," beber Fatia.
KontraS juga mencatat, pembentukan tim untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu sudah lama dilakukan oleh Presiden Jokowi dan jajarannya.
Misalnya, Komite Rekonsiliasi dan Komite Pengungkapan Kebenaran pada tahun 2015, Dewan Kerukunan Nasional pada tahun 2016 hingga Tim Gabungan Terpadu Tentang Penyelesaian Dugaan Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu pada tahun 2018.
Fatia menyebut, pembentukan tim itu terbukti gagal untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat secara akuntabel. Di sisi lain, hanya memperalat korban untuk melegitimasi formalitas 'penyelesaian' di permukaan saja tanpa sungguh-sungguh mempedulikan substansi penyelesaian kasus masa lalu.
Soal jaminan ketidakberulangan tanpa akuntabikitas dan reformasi di sektor keamanan dalam pandangan KontraS hanya menjadi retorika belaka. Pasalnya, selama ini tidak pernah terjadi inisiatif untuk mereformasi Polri dan TNI baik secara struktural maupun kultural.
"Nyatanya, selama ini masih terjadi impunitas terhadap pelaku pelanggaran HAM, tidak adanya kontrol sipil terhadap militer dan institusi keamanan," jelas Fatia.
Catatan lain adalah tidak berjalannya vetting mechanism sebaagai mekanisme integral untuk tidak 8upini menjadi aktor pelanggaran HAM berat. Dengan kata lain, pengakuan, penyesalan atas rekomendasi hasil Tim PPHAM tidak lebih dari pembaruan terhadap janji lama.
KontraS menegaskan jika perrnyataan Jokowi itu dikhawatirkan sebagai gula-gula yang menempatkan penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat hanya mendorong pada mekanisme non-yudisial. Selain itu, pernyataan Jokowi hanya mewajarkan praktik pengabaian terhadap pengadilan HAM yang buruk terjadi selama ini.
"Ditambah pembiaran terhadap tidak dilakukannya reformasi kelembagaan yang selama ini menjadi aktor pelanggaran HAM berat. Dengan kata lain, pengakuan, penyesalan, serta pernyataan Presiden Joko Widodo lainnya atas rekomendasi hasil Tim PPHAM tidak lebih dari pembaruan terhadap janji lama," papar dia.
Menambahkan Garam Pada Luka Korban
Sementara Direktur Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menyebut pengakuan Jokowi tanpa adanya upaya mengadili pihak-pihak yang harus bertanggung jawab hanya akan menambah garam pada luka korban dan keluarganya.
"Menurut pendapat kami, pengakuan Presiden Joko Widodo atas pelanggaran HAM di masa lalu tersebut tidak ada artinya tanpa pertanggungjawaban hukum," kata Usman.
Dalam hal ini pemerintah hanya memilih 12 peristiwa sebagai pelanggaran HAM berat. Pada sisi lain, pemerintah mengabaikan kengerian kejahatan lainnya, seperti pelanggaran yang dilakukan selama pendudukan dan invasi Timor Timur, Tragedi Tanjung Priok 1984, peristiwa penyerangan 27 Juli 1996, atau kasus pembunuhan Munir.
"Jika Presiden serius bicara kasus yang terjadi setelah tahun 2000. Itu seharusnya juga disebutkan," sebut Usman.
Kelalaian semacam itu, kata Usman, merupakan penghinaan bagi banyak korban. Dia menyebut, pemerintah mengabaikan fakta bahwa proses penyelidikan dan penyidikan setengah hati selama ini, --termasuk dalam empat kasus yang tidak disebutkan itu -- telah menyebabkan pembebasan semua terdakwa dalam persidangan sebelumnya.
Amnesty International Indonesia berpendapat, pemerintah tidak bisa hanya mengatakan tidak cukup bukti. Pasalnya, selama ini lembaga yang berwenang dan berada di bawah langsung wewenang Presiden, yaitu Jaksa Agung, justru tidak serius dalam mencari bukti melalui penyidikan.
"Kami mengingatkan pemerintah Indonesia bahwa mengakhiri impunitas melalui penuntutan dan penghukuman pelaku adalah satu-satunya cara untuk mencegah terulangnya pelanggaran hak asasi manusia dan memberikan kebenaran dan keadilan sejati kepada para korban dan keluarganya," ujar dia.
Sebelumnya, Jokowi mengakui pelanggaran HAM berat terjadi di berbagai peristiwa di Indonesia. Dia menyesalkan atas terjadinya pelanggaran HAM berat tersebut.
Hal itu disampaikan Jokowi usai membaca laporan dari tim penyelesaian yudisial pelanggaran HAM yang berat. Tim tersebut dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2022.
"Dengan pikiran yang jernih dan hati yang tulus saya sebagai kepala negara Republik Indonesia mengakui bahwa pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat memang terjadi di berbagai peristiwa," kata Jokowi dalam keterangan pers di Istana Merdeka, Rabu (11/1/2023).
"Saya sangat menyesalkan terjadinya peristiwa pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat," sambungnya.