Suara.com - Ketua DPP PDIP, Puan Maharani meminta kader PDIP tak jadi pengamat menerka-nerka soal siapa calon presiden yang bakal diusung oleh partai. Menurutnya, semua harus fokus kerja, urusan pencapresan sudah ada waktunya.
Hal itu disampaikan Puan dalam sambutannya di acara Bimbingan Teknis Angota DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota PDIP seluruh Indonesia, di Kawasan Jakarta Barat, Senin (9/1/2023).
"Kita itu petugas partai tugas kita adalah memenangkan partai bukan jadi pengamat politik. Nggak perlu ngamat-ngamatin (soal capres)," tegas Puan.
Menurutnya, urusan pencapresan boleh saja jadi pembicaraan kader, namun hanya dijadikan obrolan warung kopi semata saja. Ia meminta untuk kader fokus kerja.
Baca Juga: Megawati Sudah Kantongi Nama Capres PDIP, Puan ke Kader: Jadi Nggak Usah Nengok Kanan Kiri
"Ya boleh kalau cuma ngomong di warung kopi atau di antara kita, tapi nggak usah terpengaruh, turun saja turun ke lapangan kerja, kerja," katanya.
Untuk itu, Puan menegaskan, PDIP merupakan partai besar, maka sudah pasti punya banyak kader untuk diusung sebagai capres.
"Kita ini partai besar sebesar ini. Jadi nggak mungkin kita nggak punya kader untuk dicalonkan tenang saja santai santai," imbuh dia.
Wacana Megawati Nyapres
Sebelumnya, wacana Megawati nyapres lagi pertama kali muncul disampaikan oleh Co-Founder Total Politik Budi Adiputro dalam acara diskusi politik. Ia menyampaikan soal ide mendorong Megawati nyapres lagi dengan berbagai alasan.
Baca Juga: Digagas Prananda Prabowo, PDIP Kenalkan Aplikasi Media Pintar Perjuangan Jelang HUT ke-50
Acara yang diselenggarakan Perhimpunan Orang Merdeka itu turut dihadiri Ketua DPP NasDem Effendi Choirie, Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia Adi Prayitno, Wasekjen PPP Idy Muzayyad, dan Ketua DPP PDIP Eriko Sotarduga.
Budi mulanya menyinggung soal dukungan untuk Ganjar Pranowo dan Puan Maharani sebagai capres dapat memecah belah internal PDIP. Menurutnya, ancaman ini bisa dihindari jika Megawati yang maju untuk Pilpres 2024.
"Ketika ada fraksi Ganjar dan ada fraksi Puan ya ini bisa membelah partai, bisa membuat partai ini ke depan bisa pincang juga karena keterbelahan," ujar Budi dalam acara di Kopi Politik, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Sabtu (7/1/2023).
"Kenapa nggak disorong ke Bu Mega? Secara umur dan secara konstitusi masih memungkinkan. Jadi, ketika menjadi opsi, maka keterbelahan pasti nggak ada. BTL semua, banteng tegak lurus," sambungnya.
Budi juga membicarakan negara Amerika Serikat yang calon presidennya tidak lagi berusia muda, namun memiliki pengalaman. Ia menggambarkan hal tersebut bisa terjadi di Indonesia jika Megawati kembali maju sebagai capres.
"Ada negara Amerika Serikat, 2024 kita nanti ketemu kakek-kakek. Presiden Joe Biden, 82 tahun nanti 2024, dan Presiden Donald Trump 78 tahun akan bertarung, berkompetisi menjadi orang paling kuat di muka bumi 2024," tutur Budi.
"Ya, Bu Mega sepantaran lah. Bu Mega kalau nggak salah tahun ini 76. Sekarang masih 75. Tahun depan 77, sama lah. 82 tahun itu apakah Amerika kita bilang nggak ada stok anak muda? Kan nggak juga. Nah itu imajinasinya, boleh dong," imbuhnya.
Menanggapi itu, Ketua DPP PDIP Eriko Sotarduga menyebut usulan yang menyarankan Megawati maju capres di Pilpres 2024 itu masih masuk akal. Sebab, tidak ada yang salah jika ia diberikan kesempatan untuk memutuskan.
Menurut dia, dirinya akan menyampaikan ide dari Budi Adiputro itu ke Megawati. Terkait diterima atau tidaknya, tentu ia menyerahkan sepenuhnya kepada Megawati. Ia kemudian meminta publik untuk menunggu hasil keputusan tersebut.
Analisa Refly Harun
Terkait wacana Megawati maju jadi capres juga disorot oleh pakar hukum tata negara Refly Harun. Menurut dia, Ketum PDIP itu bisa nyapres bahkan untuk dua periode.
"Megawati bisa dua periode, kenapa dua periode, kalau kita baca, presiden dan wakil presiden, dipilih untuk masa jabatan lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan," ujar Refly di kanal Youtubenya sebagaimana dipantau Suara.com, Senin (9/1/2023).
Dia menjelaskan, bahwa kalimat 'sesudahnya ' itu sesudah lima tahun, bukan sesudah dua tahun atau tiga tahun. Kata dia, Megawati sebelumnya menjadi presiden bukan karena proses pemilihan oleh MPR maupun rakyat. Tetapi karena menggantikan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang di-impeachment dimakzulkan pada Juli 2021.
"Jadi Presiden Megawati memang menjabat lebih dari tiga tahun, dari Juli 2001 sampai 20 Oktober 2004. Tetapi walaupun sudah lebih dari tiga tahun, itu sebenarnya tidak bisa dianggap satu periode, karena periodenya kan sesudahnya," jelas Refly.
"Nah, tapi kalau pakai preseden pemilihan kepala daerah, dan lebih dari 2,5 tahun itu dianggap satu periode, walaupun saya tidak setuju ya. Saya belum ngecek UU pemilu apakah menyebut periodesasi ini. Tapi bagi saya, menurut saya harusnya memang tidak dihitung satu periode karena sesudahnya jelas sekali yaitu sesudahnya berarti sesudah menjabat selama lima tahun, harusnya dapat dipilih kembali," sambungnya.
Dia juga mengatakan, meski startnya sudah cukup terlambat, namun tetap ada peluang untuk itu. Mengingat, kata Refly, sejak dulu Megawati selalu jadi nomor satu atau nomor dua di survei sebelum tahun 2014.