Suara.com - Koalisi masyarakat sipil yang terdiri dari Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) dan Indonesia Corruption Watch (ICW) menyoroti proses penunjukkan terhadap beberapa Penjabat (Pj) Kepala Daerah.
Pasalnya, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) belum memenuhi permintaan temuan Ombudsman RI untuk menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) sebagai basis untuk melakukan penunjukkan Pj atau Plt Kepala Daerah tersebut.
Dalam hal ini, Ombudsman RI lebih dulu menyampaikan temuan tentang maladministrasi pengangkatan Pj atau Plt Kepala Daerah. Catatan KontraS dan ICW, ada 101 daerah yang masa jabatan kepala daerahnya habis.
Selain itu, pada beberapa daerah di antaranya sudah ditunjuk Pj/Plt Kepala Daerah oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri).
Baca Juga: 7 Poin Inmendagri Soal Pencabutan PPKM: Izinkan Keramaian, Prokes Masih Berlaku
"Kami menyaksikan bahwa penunjukkan kepala daerah tersebut tidak berbasis pada mekanisme objektif yang mampu membantu permasalahan sesuai dengan kebutuhan di tingkat daerah," kata perwakilan koalisi dari KontraS, Rivanlee Anandar dalam siaran persnya, Sabtu (7/1/2023).
Rivanlee menjelaskan, penunjukan Pj Kepala Daerah yang tidak berbasis pada mekanisme objektif itu terjadi karena beberapa hal. Pertama, tidak mempunyai landasan hukum untuk melakukan penunjukkan dan dilakukan dengan melegalkan sejumlah cara.
Teranyar, Tito Karnavian selaku Mendagri melantik tiga Pj Kepala Daerah di Daerah Otonomi Baru (DOB) Papua pada 11 November 2022. Daerah tersebut adalah Provinsi Papua Selatan, Papua Tengah dan Papua Pegunungan.
Rivanlee melanjutkan, tiga provinsi itu masing-masing “disahkan” kelahirannya melalui Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2022. Kemudian, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2022 dan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2022.
"Kami melihat bahwa penunjukkan Penjabat DOB Papua tanpa diiringi oleh mekanisme pemilihan yang layak dan demokratis," jelas dia.
Baca Juga: Momen Jokowi Pastikan Bansos Tetap Dilanjutkan di 2023 Meski PPKM Dicabut
KontraS dan ICW juga memandang, pelantikan itu dilakukan tanpa didahului dengan penjaringan aspirasi, dialog publik dan uji tuntas mengenai kebutuhan sesungguhnya dari Orang Asli Papua (OAP) secara maksimal.
Selain itu, proses pemilihan serupa dengan penunjukkan Achmad Marzuki yang dilakukan penempatan di Kemendagri beberapa hari sebelum diangkat menjadi Pj Gubernur Aceh.
Dalam hal ini, Pj Gubernur Papua Selatan, Apolo Safanpo merupakan Staf Ahli Mendagri Bidang Pemerintahan.
Selanjutnya, Pj. Gubernur Papua Pegunungan Nikolaus Kondomo merupakan Staf Ahli Bidang Hubungan Antar Lembaga dan Kerja Sama Internasional Kejaksaan Agung RI.
Sementara itu, Pj. Gubernur Papua Tengah Ribka Haluk merupakan Staf Ahli Mendagri Bidang Aparatur dan Pelayanan Publik.
Dari latar belakang itu, KontraS dan ICW menilai, penunjukan ketiga Pj. Gubernur tersebut sarat akan kepentingan. Pasalnya, semuanya memiliki jabatan di pemerintahan pusat.
"Kami menilai proses penunjukkan Penjabat Kepala Daerah dengan serampangan semacam ini terus dilanjutkan. Selain tidak terbuka terhadap calon yang ada sebelumnya, Kemendagri sebagai pemegang otoritas tak pernah menjelaskan secara detail dan terperinci bahwa penjabat yang dipilih telah sesuai kebutuhan dan akan menjawab permasalahan yang ada di daerah," jelas Rivanlee.
Meski hanya menjabat sementara, lanjut Rivanlee, Pj atau Plt Kepala Daerah tetap memiliki kewenangan cukup besar. Adapun kaitannya dengan kepentingan masyarakat seperti mengajukan dan menetapkan rancangan Peraturan Daerah (Perda) serta menetapkan Peraturan Kepala Daerah (Perkada).
"Yang nantinya akan berdampak mengatur kehidupan masyarakat dalam ruang lingkup daerah yang dipimpinnya," ucap dia.
Pada tahun 2023 terdapat 171 kepala daerah tingkat Kabupaten/Kota dan Provinsi yang akan habis masa jabatannya. Tentunya, hal tersebut harus menjadi catatan penting bagi Negara untuk memenuhi rekomendasi Ombudsman.
"Guna membuat peraturan pemerintah sebagai landasan dalam penunjukkan kepala daerah guna memenuhi prinsip prinsip Keterbukaan dalam Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB) atau good governance, pemerintah harus memastikan keterbukaan mengenai informasi kepada publik khususnya pada kebijakan yang menyangkut kepentingan dan hajat hidup masyarakat," beber Rivanlee.
KontraS dan ICW pun menilai bahwa penunjukan Pj Gubernur yang sesungguhnya sangat berpengaruh kepada publik tanpa keterbukaan dari Kemendagri sesungguhnya melanggar prinsip good governance.
Penunjukkan birokrat pusat untuk mengisi pos penjabat kepala daerah di Papua ini juga berpotensi memperuncing situasi.
"Sebab, penunjukkan ini hanya akan dilihat sebagai berlanjutnya pemaksaan kepentingan pusat."
Atas hal tersebut, KontraS dan ICW mendesak Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk menetapkan Peraturan Pemerintah sebagaimana rekomendasi Ombudsman. Tujuannya, untuk menjalankan perintah peraturan perundang-undangan.
Kemudian, dalam penunjukkan Pj Kepala Daerah seharusnya menggunakan mekanisme terbuka, baik dalam parameter maupun rekam jejak dari calon.