Penipuan Publik, Buruh Desak Presiden Jokowi Cabut Perppu Cipta Kerja

Kamis, 05 Januari 2023 | 15:49 WIB
Penipuan Publik, Buruh Desak Presiden Jokowi Cabut Perppu Cipta Kerja
Para pimpinan serikat buruh dan organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Aliansi Aksi Sejuta Buruh (AASB) melakukan aksi unjuk rasa sekaligus menyatakan sikap untuk menolak Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja. (Suara.com/Yosea Arga)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Aliansi Aksi Sejuta Buruh mendesak Presiden Jokowi menarik dan mencabut Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang alias Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja.

Sebagai gantinya, massa aksi mendesak Jokowi menerbitkan perppu pembatalan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja yang dinilai sesat.

Massa buruh mengumumkan tuntutannya itu saat berdemonstrasi di depan gedung DPR RI, Kamis (5/1/2023) siang. Aliansi aksi itu gabungan dari 40 serikat buruh.

"Kami mendesak Presiden Jokowi menarik perppu itu serta membuat perppu baru untuk mencabut UU Cipta Kerja karena sesat," kata Rudi HB Daman, Ketua Gabungan Serikat Buruh Indonesia yang menjadi juru bicara massa aksi.

Baca Juga: Sekjen NasDem Johnny Plate Didepak dari Menteri Jokowi? NasDem Nyari 'Tukang Goreng'

Selain itu, kata Rudi, massa aksi juga mendesak DPR menolak Perppu No 2/2022 agar tidak disahkan menjadi undang-undang.

"DPR seharusnya bersidang menggunakan hak angket untuk memeriksa Jokowi atas terbitnya perppu yang melanggar konstitusi," tegas Rudi.

AASB juga menyerukan kepada seluruh kaum buruh Indonesia, akademisi, praktisi demokrasi serta seluruh rakyat untuk bersatu melawan Perppu No 2/2022.

Mengangkangi UUD 45

Rudi mengatakan, perppu yang diterbitkan Jokowi itu adalah bentuk pembangkangan, penghianatan, dan kudeta terhadap konstitusi.

Baca Juga: Momen Presiden Jokowi Menyaksikan Habitat Gajah Liar dari Ruas Tol Pekanbaru-Dumai

Selain itu, penerbitan Perppu Cipta Kerja tersebut dinilai melecehkan putusan Mahkamah Konstitusi.

MK sebelumnya menyatakan UU Cipta Kerja sebagai produk hukum yang inskonstitusional bersayarat, melalui putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020.

Dalam uji formil, UU Cipta Kerja tidak memenuhi dua syarat utama. Pertama, tidak memiliki dasar atau bantalan hukum dalam pembuatannya. Kedua, tidak memenuhi syarat partisipasi bermakna. 

"Maka sudah pasti secara formil dan materiilnya UU Cipta Kerja ini adalah barang haram," kata Rudi.

Tapi, pemerintah malah menerbitkan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 dan tidak menjalankan amar putusan MK tersebut.

Apalagi, kata Rudi, Perppu No 2/2022 itu adalah alat represi untuk memaksa kehidupan kaum buruh menjadi lebih buruk.

"Kami menilai penerbitan perppu ini jelas tidak memenuhi syarat penerbitannya, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 22 UUD 1945 juncto putusan MK Nomor138/PUU-II/2009," ucap Rudi.

Kehadiran perppu tersebut, tambah Rudi, jelas mengganggu, merusak tatanan dan merugikan kehidupan bernegara  yang demokratis.

Tidak hanya itu, terbitnya perppu tersebut juga menambah daftar panjang tindakan ugal-ugalan pemerintah dalam membuat sejumlah kebijakan.

"Presiden telah menipu rakyat karena saat itu Jokowi meminta kaum buruh dan masyarakat yang menolak UU Cipta Kerja agar melakukan pengujian hukum MK. Saat MK memutuskan UU Cipta Kerja inkonstitusional, Presiden justru mengakalinya dengan menerbitkan perppu," jelas Rudi.

Sebelumnya, Presiden Jokowi menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Cipta Kerja. 

"Hari ini tanggal 30 Desember Tahun 2022, presiden sudah menandatangani Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja," kata Menkopolhukam Mahfud MD saat konferensi pers di Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat (30/12).

Penerbitan Perppu 2/2022 itu berpedoman pada Peraturan Perundangan dan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 38/PUU7/2009.

Menteri Koordinator bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, Perppu 2/2022 dibuat karena menjadi kebutuhan mendesak untuk menyikapi situasi global yang penuh ketidakpastian.

"Ekonomi menghadapi resesi global, peningkatan inflasi, kemudian ancaman stagflasi. Selain itu, beberapa negara sedang berkembang yang sudah masuk kepada IMF itu lebih dari 30."

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI