Suara.com - Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum dan Pemerintahan (PUSHAN), Oce Madril memberikan perhatian terhadap dua sistem pemilihan umum (Pemilu) 2024 yakni proporsional terbuka dan tertutup. Ia menunjukkan kelebihan maupun kekurangan dari dua sistem tersebut.
"Konstitusi sebenarnya tidak mengatur mengenai sistem Pemilu apa yang harus diterapkan. Jadi pilihan sistem pemilu, apakah proporsional terbuka atau tertutup merupakan kebijakan hukum terbuka. Kedua sistem itu pun pernah diterapkan di Indonesia," kata Oce dalam keterangannya, Kamis (5/1/2023).
Oce kemudian mengungkapkan adanya implikasi dari setiap pilihan sistem pemilu tersebut. Untuk sistem proporsional terbuka dengan mencoblos caleg tentu akan menitikberatkan pada individu.
Kondisi tersebut membuat setiap caleg berlomba-lomba untuk dapat terpilih dan mengeluarkan biaya banyak.
Baca Juga: Eks Napi Korupsi Ikut Pemilu 2024 Nanti, Romahurmuziy: Kami Butuh...
"Hal ini menyebabkan politik berbiaya sangat tinggi (high cost politics)," ucapnya.
Menurut Oce, banyak riset telah dilakukan menyimpulkan rata-rata pengeluaran Caleg DPR mencapai angka Rp 4 miliar dan bahkan ada yang menghabiskan sampai Rp 20 miliar.
"Di tingkat DPRD biayanya juga gila-gilaan hanya untuk berebut 1 kursi," tuturnya.
Menurutnya, biaya tinggi yang harus dikeluarkan valeg tersebut untuk membiayai berbagai kebutuhan kampanye agar dapat meraih suara sebanyak-banyaknya. Para caleg akan bertarung dengan caleg dari partai lain dan bahkan akan gontok-gontokan dengan caleg dalam satu partai.
Karena itu, ia menilai selain berbiaya tinggi, hal tersebut juga bisa memicu konflik.
Baca Juga: Pakar Hukum Unsoed Sebut Penegakan Kasus Tahun Ini Bakal Banyak Tantangan
"Oleh karena orientasinya adalah meraih suara sebanyak-banyaknya, maka berbagai intrik dilakukan termasuk melakukan praktik politik uang (money politics). Maka banyak riset menyatakan bahwa politik uang di Indonesia sangatlah tinggi," terangnya.
Oce menerangkan kalau pemilu yang berbiaya mahal berkorelasi dengan tingginya tingkat korupsi di sebuah negara. Rumusnya sederhana, karena biaya (modal) yang harus dikeluarkan caleg sangat mahal, maka ketika terpilih rentan melakukan korupsi untuk mengembalikan modal biaya pemilu dan menyiapkan modal baru agar dapat terpilih di pemilu berikutnya.
Persoalan turunan yang ditimbulkan oleh sistem pemilu berbiaya mahal tersebut dianggap Oce dirasakan selama ini dan hingga saat ini, persoalannya semakin akut, korupsi politik dan politik uang semakin merongrong institusi demokrasi.
"Sementara sistem proporsional tertutup menyisakan masalah demokratisasi di tingkat partai, khususnya berkaitan dengan rekrutmen politik. Oleh karena itu, apabila nanti Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan bahwa sistem proporsional tertutup (nyoblos partai) kembali diterapkan, maka Partai-partai harus memberikan jaminan bahwa rekrutmen caleg dilakukan berdasarkan merit system dengan mengajukan kader-kader berkualitas, tidak hanya berdasarkan popularitas semata."