Suara.com - Buntut keputusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan Undang-undang Cipta Kerja sebagai inkonstitusional bersyarat direspons Presiden Joko Widodo (Jokowi) dengan menerbitkan Peraturan Pengganti Undang-undang atau Perppu Cipta Kerja.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyebutkan ancaman resesi global hingga stagflasi yang menghantui Indonesia menjadi alasan pemerintah menerbitkan perppu tersebut.
"Pertimbangannya adalah kebutuhan mendesak, pemerintah perlu mempercepat antisipasi terhadap kondisi global, baik yang terkait ekonomi kita menghadapi resesi global, peningkatan inflasi, kemudian ancaman stagflasi," ujar Airlangga dalam konferensi pers virtual, Jumat (30/12/2022) pekan lalu.
Beleid yang disahkan jelang pergantian tahun ini mengejutkan sejumlah pihak. Khususnya kalangan buruh dan pekerja, mayoritas kelompok buruh termasuk Partai Buruh menolak. Ada sejumlah pasal dinilai bukan memberi untung, justru membuat burung makin buntung. Apa saja itu?
Baca Juga: Fraksi PAN ke Pemerintah: Apa Betul Perppu Cipta Kerja Terbit untuk Gugurkan Putusan MK?
Soal Pesangon
Presiden Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (ASPEK) Mirah Sumirat mengatakan kalau tetap dilaksanakan, perppu tersebut, khususnya yang berkaitan dengan klaster ketenagakerjaan bisa semakin membuat pekerja semakin miskin.
Buruh memandang aturan pesangon dalam Perppu Cipta Kerja cukup merugikan. Pasalnya, kata Mirah, kompensasi pesangon dan uang penghargaan masa kerja yang diterima buruh korban PHK berkurang dibandingkan aturan lama.
Sebagai pembanding, dalam UU Ketenagakerjaan besaran uang pesangon yang diterima buruh korban PHK paling banyak dibatasi 10 bulan gaji.
Selain pesangon, korban PHK itu juga mendapatkan uang penggantian hak seperti cuti tahunan yang belum diambil atau belum gugur, biaya ongkos pulang kerja, penggantian perumahan serta pengobatan yang ditetapkan 15 persen dari uang pesangon.
Sementara dalam Perppu Cipta Kerja, pesangon dibatasi maksimal hanya 9 bulan gaji.
Soal Upah
Sistem upah yang berlaku dalam Perppu Cipta Kerja dinilai merugikan buruh. Dengan sistem upah itu, buruh berpotensi mendapatkan upah yang rendah.
Berdasarkan aturan tersebut, formula penetapan upah minimum bisa diubah dalam keadaan tertentu.
"Dalam keadaan tertentu pemerintah dapat menetapkan formula penghitungan Upah minimum yang berbeda dengan formula penghitungan Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88D ayat 2," bunyi pasal 88F Perppu Cipta Kerja.
Berdasarkan ketentuan Pasal 88D perppu tersebut, upah minimum dihitung dengan menggunakan formula penghitungan upah minimum yang mempertimbangkan variabel pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan indeks tertentu.
Sedangkan jika dibandingkan dengan UU Ketenagakerjaan, UMP dihitung dengan turut memperhitungkan komponen kebutuhan hidup layak (KHL).
Soal Aturan Tenaga Kerja Asing
Kelompok buruh memandang, Perppu Cipta Kerja 'terlalu' mempermudah masuknya tenaga kerja asing ke semua jenis pekerjaan yang sejatinya bisa digarap pekerja lokal/Indonesia.
Kemudahan juga diberikan pemerintah dengan menghapus kewajiban bisa berbahasa Indonesia bagi pekerja asing yang mau kerja di RI.
Aturan PHK
Kelompok buruh juga memandang aturan PHK dalam Perppu Cipta Kerja berpotensi merugikan buruh. Pasalnya aturan itu memberikan kemudahan kepada perusahaan melakukan PHK.
Soal Ketentuan Hari Libur
Perppu Cipta Kerja mengatur bahwa minimal dalam satu pekan, pekerja mendapatkan satu hari libur yang diberikan oleh perusahaan.
Aturan tersebut tertuang dalam Pasal 79 ayat (2) huruf b pada Perppu Cipta Kerja yang berbunyi sebagai berikut:
"Waktu istirahat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a wajib diberikan kepada Pekerja/Buruh paling sedikit meliputi;a. istirahat antara jam kerja, paling sedikit setengah jam setelah bekerja selama 4 (empat) jam terus-menerus, dan waktu istirahat tersebut tidak termasuk jam kerja; dan b. istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu."
Tentu, ketentuan tersebut menuai kontroversi lantaran aturan sebelumnya mewajibkan bagi perusahaan untuk memberikan libur minimal dua hari dalam satu pekan.
Waktu Kerja Jadi 7-8 Jam Sehari
Namun, tetap ada beberapa ketentuan yang memberi kesempatan bagi pekerja untuk mendapat dua hari libur.
Hal ini tertuang dalam ketentuan waktu kerja yang kini diberikan 7 sampai 8 jam kerja.
"Setiap pengusaha wajib melaksanakan ketentuan waktu kerja," demikian bunyi Pasal 77 ayat (1)."
"Waktu kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi; (a) tujuh jam satu hari dan 40 jam satu minggu untuk 6 hari kerja dalam satu minggu, atau (b) delapan jam satu hari dan 40 jam satu minggu untuk 5 hari kerja dalam satu minggu," bunyi Pasal 77 ayat (2).