Suara.com - Presiden Joko Widodo atau Jokowi resmi menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Perppu Cipta Kerja) pada Jumat (30/12/2022).
Perppu Ciptaker itu diterbitkan sebagai tindak lanjut dari Putusan Mahkamah Konstitusi Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang menyatakan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat.
Penerbitan Perppu Cipta Kerja itu sendiri dinilai sebagai solusi terbaik di tengah badai dilema setelah putusan MK. Pasalnya, banyak kontroversi terkait UU Cipta Kerja sejak penerbitannya.
Berkaitan dengan itu, berikut ini isi UU Cipta Kerja yang kontroversial di Bidang Ketenagakerjaan dan Lingkungan Hidup.
Baca Juga: Jokowi King Maker 2024? "Kartu Pak Jokowi Dimainkan Pak Jokowi Sendiri"
Hak cuti pekerja atau buruh
Kontroversi pertama adalah terkait hak cuti pekerja atau buruh yang telah bekerja selama 6 (enam) tahun di perusahaan yang sama. Dalam pasal 79 UU Ketenagakerjaan jo. UU Cipta Kerja, dibahas mengenai waktu sitirahat dan cuti.
Perubahannya menghapuskan frasa “Istirahat panjang sekurang-kurangnya 2 (dua) bulan dan dilaksanakan pada tahun ketujuh dan kedelapan masing-masing 1 (satu) bulan bagi pekerja/buruh yang telah bekerja selama 6 (enam) tahun secara terus-menerus pada perusahaan yang sama dengan ketentuan pekerja/buruh tersebut tidak berhak lagi atas istirahat tahunannya dalam 2 (dua) tahun berjalan dan selanjutnya berlaku untuk setiap kelipatan masa kerja 6 (enam) tahun.”
Ketentuan ini dianggap mengurangi hak cuti pekerja atau buruh yang sudah bekerja selama 6 tahun terus menerus di perusahaan yang sama.
Pekerja atau buruh tersebut menjadi tak berhak lagi memiliki istirahat panjang 2 bulan yang dilaksanakan di tahun ketujuh dan delapan, yang masing-masing 1 bulan.
Baca Juga: Desak DPR Tolak Perppu Cipta Kerja yang Diterbitkan Jokowi, Demokrat: Pemerintah Tidak Patuh Hukum
Upah minimum pekerja/buruh di usaha mikro dan kecil
Pasal 88 UU Ketenagakerjaan membahas terkait adanya kebijakan pengupahan berupa upah minimum. Namun, UU Cipta Kerja, Pasal 90B UU Ketenagakerjaan jo. UU Cipta Kerja menentukan hal khusus terkait pengupahan pekerja/buruh di usaha mikro dan kecil.
Upah pekerja pada usaha mikro dan kecil ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara pengusaha dan pekerja/buruh di perusahaan. Upah tersebut sekurang-kurangnya sebesar persentase tertentu dari rata-rata konsumsi masyarakat berdasarkan data dari lembaga yang berwenang di bidang statistik.
Ketentuan ini dianggap tidak mencerminkan keadilan bagi pekerja usaha mikro dan kecil karena tidak sesuai dengan kebijakan upah minimum dan menjadi peluang pengusaha memberikan upah sewenang-wenang.
Pekerja/buruh yang berada di pihak minoritas pun akan melakukan pekerjaan tersebut dan kurang memperoleh perlindungan hukum.
Proses penyusunan AMDAL
Pasal 26 ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) menyatakan dokumen AMDAL disusun oleh pemrakarsa dengan melibatkan masyarakat.
Khususnya masyarakat yang terkena dampak, yaitu pemerhati lingkungan hidup; dan/atau yang terpengaruh atas segala bentuk keputusan dalam proses AMDAL.
Namun, UU Cipta Kerja memberikan definisi baru terkait ‘masyarakat yang terkena dampak’. Pasal 26 UU PPLH jo. UU Cipta Kerja tersebut berbunyi: “Penyusunan dokumen AMDAL dilakukan dengan melibatkan masyarakat yang terkena dampak langsung terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan.”
Artinya, UU Cipta Kerja mempersempit keterlibatan pihak untuk menyusun dokumen AMDAL. UU Cipta Kerja hanya mempersilakan masyarakat yang terkena dampak langsung.
Padahal, ‘masyarakat yang terkena dampak’ sebelumnya dapat merupakan masyarakat terkena dampak langsung dan lembaga swadaya masyarakat yang berada di lingkungan tersebut.
Kontributor : Annisa Fianni Sisma