Suara.com - Presiden Joko Widodo mendapatkan kritik usai menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja pada Jumat (30/12/2022) kemarin. Perppu itu diterbitkan untuk menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan Omnibus Law UU Ciptaker inkonstitusional bersyarat.
Diketahui Undang-Undang Cipta Kerja tak pernah lepas dari kontroversi sejak tiga tahun terakhir ini. Rancangan aturan ini sudah banyak menuai penolakan bahkan sejak awal perumusannya.
Walau begitu, pemerintah tetap melakukan pengesahan UU Cipta Kerja hingga dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Simak perjalanan UU Cipta Kerja hingga Jokowi terbitkan Perppu berikut ini.
Perumusan UU Cipta Kerja
Baca Juga: Jokowi Disebut Mau Jadikan NasDem 'Bebek Lumpuh' di Kabinet, Demi Jegal Anies?
Gagasan tentang UU Cipta Kerja alias omnibus law pertama kali diungkap Presiden Jokowi dalam pidato pelantikannya sebagai presiden RI periode kedua pada 20 Oktober 2019. Ketika itu, Jokowi mengatakan omnibus law diperlukan untuk mengatasi tumpang tindih regulasi di Tanah Air, terlebih yang berkaitan dengan investasi dan lapangan kerja.
Jokowi kemudian memerintahkan jajarannya menyusun draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja. Draf RUU itu kilat dinyatakan rampung oleh pemerintah pada 12 Februari 2020.
Sejak awal rancangannya, UU Cipta Kerja menuai penolakan dari berbagai kalangan, terutama kaum buruh. Imbasnya, ada aksi unjuk rasa penolakan terjadi di berbagai tempat karena RUU ini dikhawatirkan merugikan hak-hak kaum pekerja dan menguntungkan pengusaha.
Disahkan Oktober 2020
Pembahasan RUU Cipta Kerja di DPR dikebut. Bahkan untuk meloloskan aturan itu menjadi UU, anggota dewan sampai rela menggelar rapat maraton. Dalam 7 bulan saja, setidaknya diselenggarakan rapat membahas RUU Cipta Kerja sebanyak 64 kali termasuk pada dini hari, akhir pekan, hingga saat masa reses.
Baca Juga: Kritik Penerbitan Perppu Cipta Kerja, Legislator PKS Sebut Jokowi Telah 'Mengangkangi' DPR RI
Hingga kemudian pembahasan RUU Cipta Kerja rampung dan dibawa ke rapat paripurna DPR untuk disahkan sebagai UU pada 5 Oktober 2020. Lagi-lagi para buruh menggelar aksi untuk menolak pengesahan itu.
Terlepas dari segala penolakan tersebut, UU Cipta Kerja pun disahkan pada 5 Oktober 2020. Pada 2 November 2020, Presiden Jokowi menandatangani aturan itu sebagai UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang telah resmi berlaku.
Banyak Dikritik hingga Digugat ke MK
Walau sudah disahkan, UU Cipta Kerja terus banjir kritik. Masyarakat terutama kaum buruh dan mahasiswa dari berbagai daerah turun ke jalan untuk memprotes UU yang dianggap merugikan pekerja itu.
Kaum buruh sempat meminta Jokowi membatalkan UU tersebut dengan menerbitkan Perppu. Namun Jokowi menolak dengan alasan UU Cipta Kerja dibutuhkan untuk membuka peluang investasi dan lapangan kerja sebanyak-banyaknya.
Presiden juga menyebut UU itu diperlukan untuk menyederhanakan sistem perizinan berusaha yang diyakini mampu mencegah praktik korupsi. Ketika itu Jokowi mempersilakan pihak-pihak yang menolak UU Cipta Kerja mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Tak butuh waktu lama, berbagai kalangan langsung menggugat UU Cipta Kerja ke MK. Uji materi aturan itu berlangsung panjang dan baru diputuskan setahun setelah UU Cipta Kerja berlaku, tepatnya 25 November 2021. MK menyatakan UU Nomor 11 Tahun 2020 inkonstitusional bersyarat.
Dalam putusannya, MK memberi waktu 2 tahun untuk pembuat undang-undang memperbaiki UU Cipta Kerja, terhitung setelah putusan dibacakan. Artinya apabila dalam jangka waktu 2 tahun itu tidak dilakukan perbaikan, UU Cipta Kerja itu akan otomatis dinyatakan inkonstitusional bersyarat secara permanen.
Pemerintah Terbitkan Perppu Cipta Kerja
Setelah satu tahun pasca putusan MK, pemerintah tiba-tiba menerbitkan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 untuk menggantikan UU Cipta Kerja yang dinyatakan inkonstitusional bersyarat. Aturan itu ditandatangani Presiden Jokowi pada Jumat (30/12/2022) kemarin.
Penerbitan Perppu itu menuai banyak kritik karena dinilai tidak ada kegentingan yang memaksa untuk mengeluarkan aturan tersebut. Terlebih MK mengamanatkan perbaikan UU dalam jangka waktu dua tahun hingga 25 November 2023, bukan dengan penerbitan perppu.
Ahli hukum tata negara Refly Harun mengatakan seharusnya DPR menolak perppu yang diterbitkan Jokowi. Ia menekankan bahwa MK mengamanatkan UU Cipta Kerja agar diperbaiki, bukan dengan mengeluarkan Perppu.
"Secara teoretis Perppu itu bisa dibawa ke MK lagi dan MK bisa batalkannya kalau committed dengan putusan terdahulu. Kalau MK sudah masuk angin lain soal, kan MK sudah berubah komposisinya," ujar Refly Harun.
Kontributor : Trias Rohmadoni