Suara.com - Khalayak China berbondong-bondong memesan tiket pesawat ke luar negeri setelah pemerintah mengumumkan rencana pembukaan pembatasan perjalanan bulan depan.
Sejumlah situs perjalanan mencatat lonjakan angka pengunjung sejak rencana tersebut diumumkan pada Senin (26/12). Kebijakan itu mencakup penghapusan syarat wajib karantina bagi pendatang mancanegara.
Adapun bagi masyarakat China yang ingin terbang ke luar negeri, pengajuan pembuatan paspor akan dibuka kembali pada 8 Januari, kata kantor imigrasi China.
Meski begitu, turis China tidak dapat masuk ke semua negara tujuan tanpa syarat perjalanan.
Para pejabat di Amerika Serikat sedang mempertimbangkan pembatasan baru terhadap para pelancong dari China karena kekhawatiran tentang lonjakan kasus dan kurangnya transparansi dari pemerintah China.
"Ada kekhawatiran yang meningkat di komunitas internasional tentang lonjakan Covid-19 yang sedang berlangsung di China dan kurangnya data transparan, termasuk data urutan genomik virus," kata pejabat AS dalam pernyataan yang dikutip oleh sejumlah kantor berita.
"Tanpa data ini, semakin sulit bagi pejabat kesehatan masyarakat untuk memastikan bahwa mereka akan dapat mengidentifikasi potensi varian baru dan mengambil langkah cepat untuk mengurangi penyebaran."
Kemudian Jepang, yang merupakan salah satu destinasi paling populer bagi wisatawan China, mengumumkan syarat khusus bagi pendatang dari negara tersebut.
Pendatang dari China harus menunjukkan tes negatif Covid-19 per kedatangan atau karantina selama tujuh hari akibat membludaknya kasus di negara tersebut.
Bahkan, India masih mewajibkan pelaku perjalanan dari China dan negara-negara tertentu lainnya untuk membawa hasil tes Covid-19 negatif saat mendarat. Peraturan ini sudah berlaku sebelum China melonggarkan peraturan terkait wabah penyebaran Covid-19.
Strategi 'nol Covid' disusul peningkatan kasus Covid
Pelonggaran syarat berpergian - bagian terakhir dari kebijakan 'nol-covid' pemerintah China - muncul seiring dengan upaya negara tersebut untuk melawan gelombang penularan baru.
Pemerintah China memutuskan untuk melonggarkan kebijakan terkait Covid-19 setelah warga melakukan protes besar-besaran terhadap Presiden Xi Jinping pada November lalu.
Tetapi, langkah ini diikuti dengan peningkatan kasus Covid-19 yang membuat rumah sakit kewalahan dan apotek kehabisan obat.
Pengumuman tentang dibukanya kembali perjalanan mancanegara mengemuka sehari setelah pemerintah menghilangkan syarat karantina bagi pelancong yang mendarat di China.
Pemerintah China juga membatalkan pembatasan jumlah penerbangan harian.
Tak hanya itu, Komisi Kesehatan Nasional China akan menurunkan tingkat bahaya Covid-19 menjadi penyakit Kelas B pada 8 Januari nanti.
Sebelum penghapusan syarat perjalanan, masyarakat China dianjurkan agar tidak bepergian ke luar negeri. Penjualan tur grup dan paket perjalanan dilarang, menurut perusahaan solusi pemasaran Dragon Trail International.
Pengunjung situs perjalanan meningkat
Hanya setengah jam setelah terbitnya pengumuman pelonggaran pembatasan perjalanan, media China melaporkan pencarian destinasi liburan pada situs perjalanan Trip.com naik 10 kali lipat dibandingkan tahun lalu.
Destinasi yang paling banyak dicari warga China mencakup Makau, Hong Kong, Jepang, Thailand, dan Korea Selatan.
Selain itu, pencarian terkait penerbangan pada situs biro perjalanan Qunar naik tujuh kali lipat dalam kurun 15 menit setelah pengumuman, berdasarkan laporan China Daily.
Sebelum pandemi, menurut Statista, jumlah pelaku perjalanan yang berasal dari China mencapai 155 juta orang pada 2019. Angka tersebut turun menjadi 20 juta orang pada 2020.
Tahun ini, sejumlah warga China berharap dapat mengunjungi keluarga dan orang terdekat mereka dalam rangka Tahun Baru Imlek yang akan jatuh pada 22 Januari 2023.
Oleh karena itu, banyak warga China memiliki perasaan campur-aduk mengenai pelonggaran kebijakan Covid-19.
"Saya senang mendengarnya tetapi juga kaget. Kalau China akan melakukannya [pembukaan kembali] kenapa saya harus menjalani semua tes Covid-19 harian dan penguncian area setahun terakhir ini?" kata Rachel Liu yang tinggal di Shanghai.
Ia mengatakan dirinya mengalami karantina wilayah selama tiga bulan, sedangkan semua anggota keluarganya telah tertular Covid-19 dalam beberapa minggu terakhir.
Orangtuanya, kakek-neneknya, dan pacarnya - yang tinggal di tiga kota berbeda yakni Xi'an, Shanghai, dan Hangzhou - semua sakit demam pekan lalu.
Di media sosial, banyak juga yang mengaku khawatir tentang pembukaan kembali perjalanan, padahal kasus Covid-19 sedang tinggi.
"Kenapa mereka tidak menunggu gelombang ini berlalu baru membuka kembali? Para tenaga kesehatan sudah kewalahan dan lansia tidak akan kuat melewati dua gelombang infeksi dalam satu bulan," tulis salah satu komentar teratas di Weibo.
Masyarakat yang tinggal di kota-kota besar seperti Beijing dan Shanghai, yang sedang mengalami musim dingin, mulai kehabisan obat flu dan batuk-pilek.
Ada kerisauan bahwa ratusan orang yang meninggal karena Covid-19 tidak dilaporkan sebab beberapa krematorium kewalahan.
Di ibu kota Beijing, para pejabat mengutarakan rencana untuk mendistribusikan tablet Paxlovid buatan Pfizer sebagai upaya meringankan infeksi berat. Namun, menurut The Global Times, posko-posko kesehatan mengaku belum menerima obat tersebut dari pemerintah.
Pada Senin lalu, Presiden Xi menyampaikan pesannya terkait perubahan kebijakan untuk pertama kali. Ia meminta agar para pejabat melakukan apa yang 'dapat dilakukan' untuk menyelamatkan nyawa.
Perubahan drastis pada kebijakan di China telah menempatkan Xi dalam posisi yang sulit. Ia merupakan pendorong utama di balik kebijakan 'nol-Covid' yang banyak diprotes warga karena membuat hidup mereka susah dan memperlambat ekonomi.
Tetapi, berhubung kebijakan tersebut sudah dicabut, para analis mengatakan Xi harus bertanggung jawab atas gelombang penyebaran besar dan penuhnya rumah sakit.
Banyak yang mempertanyakan mengapa China tidak lebih siap menghadapi ledakan kasus tersebut.