PPATK Identifikasi Pencucian Uang Korupsi Rp81,313 Triliun, Bermodus Rekening ART hingga Pembayaran Polis Asuransi

Rabu, 28 Desember 2022 | 20:16 WIB
PPATK Identifikasi Pencucian Uang Korupsi Rp81,313 Triliun, Bermodus Rekening ART hingga Pembayaran Polis Asuransi
Kepala PPATK, Ivan Yustiavandana saat menggelar konferensi pers di kantornya, Jakarta Pusat pada Rabu (28/12/2022). [Suara.com/Yaumal]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengungkap modus pencucian uang yang biasa dilakukan koruptor, penggalian dana ke rekening asisten rumah tangga (ART) hingga polis asuransi.

Kepala PPATK Ivan Yustiavandana mengungkap, sepanjang 2022 lembaganya mengidentifikasi tranksaksi pencucian uang hasil korupsi mencapai Rp81,313 triliun. Angka fantastis itu berdasarkan sejumlah laporan yang diperoleh PPATK.

"PPATK telah menghasilkan 225 hasil analisis dan tujuh hasil pemeriksaan terkait tindak pidana korupsi dengan jumlah LTKM atau laporan mengenai transaksi keuangan mencurigakan sebanyak 275 laporan," kata Ivan saat menggelar konferensi pers di Kantor PPATK, Jakarta Pusat pada Rabu (28/12/2022).

Ivan mengungkap, sejumlah modus pencucian yang biasa dilakukan para koruptor, di antaranya menggunakan rekening orang dekat dengan penyelenggara negara (pelaku koruptor) seperti asisten rumah tangga hingga supir.

Baca Juga: PPATK: Kasus Penipuan Modus Love Scamming Marak di Indonesia, Transaksi Capai Miliaran

Kemudian penggunaan rekening atas nama keluarga politically eksposed person (orang yang populer secara politik) untuk menampung dana yang diduga berasal dari tindak pidana korupsi. Penggunaan instrumen pasar modal, juga menjadi alat para koruptor untuk menampung dana hasil korupsi.

Modus lainnya, penempatan dana hasil korupsi di rekening deposito atas nama pribadi, dan digunakan untuk pembayaran pinjaman yang diajukan oleh pelaku.

"Guna menyamarkan hasil tindak pidana korupsi yang dilakukan," kata Ivan.

Selanjutnya, para koruptor juga memanfaatkan penyaluran dana pinjaman dari lembaga keuangan pemerintah untuk kegiatan eskpor fiktif dari berbagai perusahaan.

"Sehingga mengakibatkan gagal bayar, sementara hasil pencairan dana dialirkan ke perusahaan-perusahaan dan ke rekening atas nama pelaku (debitur) beserta keluarga yang kemudian digunakan untuk kepeluan pribadi, seperti pembelian polisi asuransi," papar Ivan.

Baca Juga: PPTAK Temukan Transaksi Keuangan yang Konsisten Terkait Tambang Ilegal Ismail Bolong

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI