Suara.com - Yenti Ganarsih, anggota Tim Perumus Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau KUHP mengakui heran karena masih banyak yang mengkritik pasal hukuman mati.
Anggota Tim Perumus KUHP dari unsur pemerintah itu mengatakan, ada alasan kuat sehingga pasal hukuman mati masih dicantumkan pada KUHP baru.
Salah satu alasan kuatnya adalah, hukum harus memberikan porsi keadilan kepada korban yang meninggal akibat pelaku kejahatan.
"Yang boleh mencabut nyawa manusia hanya Tuhan. Jadi, ketika pelaku membunuh secara keji, memangnya dia Tuhan?" kata Yenti Ganarsih dalam diskusi yang digelar Partai Perindo di Kantor DPP Perindo, Jakarta Pusat, Sabtu (24/12/2022).
Baca Juga: Jaksa Agung Perintahkan Seluruh Jajarannya Pelajari Isi KUHP Baru
Melalui perspektif kodratiah seperti itu, Yenti mengatakan para pengkritikpenerapan hukuman mati juga harus menilai perasaan korban kejahatan.
Menurutnya, kalau salah menerapkan pidana terhadap pembunuh keji, justru kejahatan seperti itu akan terus berulang.
"Ada pemikirian vitimologi itu, awalnya kasihan kepada korban. Tapi belakangan ribut mengasihani pelaku."
Tak hanya itu, Yenti mengatakan pasal hukuman mati dalam KUHP baru tidak sama seperti dalam kitab lama.
"Pidana mati yang diterapkan ada suspended sentence, penundaan selama 10 tahun. Bila 10 tahun dinilai baik, akan dipindah ke hukuman seumur hidup atau penjara 20 tahun. Jadi ada tenggat waktu 10 tahun," kata dia.
Baca Juga: Sebut Simbol Matinya Demokrasi, Massa BEM SI Sempat Tabur Bunga di Buntalan Bantal yang Mirip Pocong
Selain itu, Yenti juga mengatakan masih banyak negara-negara di dunia yang menerapkan hukuman mati, termasuk Amerika Serikat.
"Masih ada 37 negara bagian di AS yang memberlakukan pidana mati. Di Asia Tenggara, bahkan negeri-negeri Islam. Totalnya, dari 226 negara anggota PBB, sekitar 57 negara masih memberlakukan pidana mati. Jadi jangan mengecilkan negara kita sendiri," tegas Yeti.
Sebelumnya, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan atau KontraS menilai, terdapat satu isu yang luput dari sembilan program kerja prioritas Komisioner Komnas HAM periode 2022-2027, yakni penghapusan hukuman mati dalam sistem hukum Indonesia.
Wakil Koordinator KontraS, Rivanlee Anandar mengatakan, padahal dalam isu penegakan HAM internasional, penghapusan hukuman mati menjadi prioritas.
"Isu penghapusan hukuman mati juga menjadi penting untuk masuk dalam agenda prioritas mengingat kita sudah dari 2016 tidak melakukan moratorium, tetapi hukuman mati masih terus ada," kata Rivanlee saat dihubungi Suara.com, Senin (14/11/2022).
Menurutnya, tidak masuknya isu hukuman mati dari sembilan agenda prioritas dikhawatirkan terjadi pengabaian. Hal itu dapar dirasakan, menurut Rivanlee dari komisioner sebelumnya.
"Dari komisioner sebelumnya, itu kerap kali menghalangi isu-isu yang tadi yang tidak masuk dalam prioritas. Hal ini yang saya rasakan, soal konteks hukuman mati saja itu enggak mendapat perhatian," ujarnya.