Natal di Australia: WNI Rayakan dan Maknai Natal dengan Keluarga Berbeda Keyakinan

Diana MariskaABC Suara.Com
Sabtu, 24 Desember 2022 | 13:09 WIB
Natal di Australia: WNI Rayakan dan Maknai Natal dengan Keluarga Berbeda Keyakinan
Dekorasi pohon Natal (Photo by Element5 Digital/pexels)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Keluarga Dea Donikian biasanya mengadakan jamuan makan siang yang berlanjut hingga makan malam pada Hari Natal.

Namun sejak enam tahun lalu, kebiasaan ini berubah.

"Sejak kepergian kakek suamiku, kami tak lagi mengadakan acara makan malam bersama," ujar Dea kepada Farid Ibrahim dari ABC Indonesia.

Dea yang bekerja sebagai Senior Scientist di Prince of Wales Hospital Sydney menikah dengan pria Australia keturunan Yunani pada tahun 2014, dan dikaruniai dua putra, Parker (6 tahun) dan Matteo (3,5 tahun).

"Sekarang kami masih tetap mengadakan acara makan siang bersama," katanya.

"Tidak ada yang istimewa atau unik dengan perayaan Hari Natal di keluarga kami," tambah Dea.

Ia mengatakan jika orangtuanya, yakni ibu kandung dan ayah tiri dengan latar belakang Muslim, tidak sibuk, biasanya mereka akan datang mengunjunginya.

Bagi Dea, Natal setiap tahun selalu dirayakan oleh keluarga besar suaminya, yang biasanya masing-masing membawa makanan utuk disantap bersama.

"Kami merayakan Natal bersama keluarga, bukan karena keyakinan agama," kata Dea.

"Pada dasarnya kami senang menghabiskan waktu bersama keluarga dan yang terpenting makan-makan. Suasana Natal terasa sangat bagus karena menandakan musim liburan telah tiba," ujar Dea.

"Saya tidak pernah mendapatkan komentar negatif tentang perayaan Natal kami dari teman-teman masyarakat Indonesia," katanya.

"Anak laki-laki saya bersekolah di sekolah Katolik [meski dia tidak dibaptis] dan orangtua saya beragama Islam, begitu pula ipar perempuan saya yang menikah dengan pria Muslim asal Lebanon."

"Jadi keluarga saya benar-benar keluarga campuran dari segala latar belakang," kata Dea.

Sate ayam jadi hidangan Natal

Acara kumpul keluarga untuk makan siang bersama saat hari Natal juga selalu digelar oleh keluarga Winda Tafsier, warga asal Indonesia yang menikah dengan pria Australia.

"Kami muslim tapi keluarga suami saya bukan muslim. Karena mertua saya sudah sepuh, acara kumpul-kumpul setiap Natal selalu diadakan di rumah kami," kata Winda kepada ABC Indonesia.

"Mereka tahu saya tidak merayakan Natal, tapi kami selalu berkumpul pada hari Natal karena saya menghargai keyakinan mereka," ujarnya.

Winda mengatakan 'ham' atau daging babi dari bagian kaki belakang, biasanya menjadi hidangan khas Natal di Australia.

Tapi karena ia tidak memakannya, hidangan 'ham' diganti menjadi sate ayam.

"Karena acara makan-makan ini diadakan di rumah kami, jadi tidak ada menu ham. Kalau diadakannya di rumah keluarga yang lain, pasti ada ham," ujarnya. 

"Ibu mertuaku biasanya membawa seafood platter, ada juga yang membawa salada, mie dan tentu saja kue-kue," katanya.

Winda yang bekerja sebagai community support worker di Melbourne menikah dengan David Jacobs pada tahun 2006. 

Mereka dikaruniai dua anak perempuan berusia 14 dan 12 tahun serta seorang anak laki-laki berusia 5 tahun.

Meski di dalam keluarganya sendiri tidak ada tukar-tukaran kado, namun anak-anak Winda dan David biasanya akan mendapatkan hadiah Natal dari keluarga dan paman-pamannya.

"Karena di rumah kami tak ada pohon Natal, ibu mertuaku biasanya meminta anak-anak kami ke rumahnya untuk ikut mendekorasi pohon Natal," katanya.

Winda mengaku bisa memahami jika adanya komentar negatif soal keluarga beda agama yang merayakan Natal, termasuk dari beberapa anggota komunitas Indonesia.

"Mungkin saja karena mereka tidak mengerti mengerti posisi saya yang memiliki mertua dan keluarga suami yang merayakan Natal," ujarnya.

Membangun toleransi dalam keluarga

Pentingnya menanamkan toleransi di dalam keluarga yang menikah beda agama dirasakan oleh Nila Tanzil, mahasiswi S3 Curtin University di Perth.

NIla beragama Katolik, namun memiliki ayah beragama Buddha dan ibu beragama Islam. Ia sudah merayakan Natal sejak kelas 5 SD.

Nilai toleransi yang terbangun dalam keluarganya membuat Nila merasa jika momen Natal memberikan "kedamaian di dalam hati".

"Saya merasa walaupun keluarga saya beda agama tapi saya merasakan kasih sayang yang luar biasa," katanya kepada Natasya Salim dari ABC Indonesia.

"Walaupun mereka tidak merayakan, tapi mereka tetap berusaha menciptakan suasana Natal yang hangat untuk saya."

Berbekal perasaan tersebut, Nila mengajarkan kepada Sienna, anaknya yang berusia delapan tahun, untuk menggunakan momen Natal sebagai kesempatan berbagi kepada siapa saja tanpa memandang agama mereka.

"Saya selalu mengajarkan ke Sienna bahwa act of love-nya [tanda kasih Natal] itu kita lakukan dengan memberikan hadiah ke saudara-saudara kita yang agamanya bukan Kristen," katanya.

"Seperti misalnya tradisi memberikan hadiah berdasarkan wishlist [daftar permintaan hadiah] dari anak-anak panti asuhan walaupun kami enggak kenal dengan mereka," ujar Nila.

Nila dan Sienna sudah menyusun rencana merayakan Natal pertama mereka di Australia sejak pindah dari Jakarta Juli lalu.

Mereka akan melanjutkan tradisi menghias pohon Natal, membuat kue untuk dibagikan kepada teman dan tetangga, mendengarkan lagu dan menonton film Natal, pergi ke gereja, dan membuka hadiah bersama.

Nila juga mengatakan telah menerima undangan makan siang bersama dari teman-temannya dari komunitas Indonesia.

"Walau ini menjadi Natal pertama kami di Australia dan kami tidak bisa merayakannya dengan saudara, kami akan merayakannya dengan teman di sini," ujar Nila.

"Memang ketika kita tinggal jauh dari rumah, teman-teman menjadi keluarga, tempat berbagi kasih dan semangat Natal bersama."

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI