Suara.com - Tahlilan menjadi topik perbincangan hangat warga Twitter pada Selasa (20/12/2022) kemarin. Seorang warga Twitter mempertanyakan kepada petinggi NU soal hukum menggelar tahlilan untuk mendoakan yang meninggal.
Perdebatan ini muncul lantaran netizen tersebut menceritakan kisah Pembantu Rumah Tangganya yang minta utang untuk menggelar acara tahlilan anggota keluarganya lantaran terhimpit ekonomi.
Lantas bagaimana hukum tahlilan 7, 40, hingga 100 harian menurut pandangan Islam?
Tahlilan Untuk Orang Meninggal
Baca Juga: Doa Tahlil Lengkap dalam Bacaan Latin dan Terjemahannya
Tahlilan merupakan tradisi Islami yang banyak dilakukan masyarakat Indonesia, khususnya di tanah Jawa untuk memperingati kematian seseorang. Singkatnya, tahlilan diadakan untuk mendoakan orang yang sudah meninggal.
Kegiatan dalam tahlilan adalah membaca serangkaian ayat Al Quran dan kalimat thayyibah (tasbih, tahmid, tahlil, dan takbir). Tahlilan biasanya dilakukan pada hari-hari tertentu seperti tujuh hari berturut-turut, hari ke-40, hari ke-100, hari ke-1000 dan seterusnya.
Hukum Tahlilan Dalam Islam
Hukum melaksanakan tahlilan seringkali menjadi perdebatan.
Mengutip NU Online, beberapa ulama juga berpendapat seperti Imam Syafi’i yang mengatakan bahwa disunahkan membacakan ayat-ayat al-Qur’an kepada mayit, dan jika sampai khatam al-Qur’an maka akan lebih baik. Bahkan Imam Nawawi dalam kitab Majmu’-nya menerangkan bahwa tidak hanya tahlil dan doa, tetapi juga disunahkan bagi orang yang ziarah kubur untuk membaca ayat-ayat Al-Qur’an lalu setelahnya diiringi berdoa untuk mayit.
Baca Juga: Melokal Banget, Ekspresi Bule Pulang Tahlilan Bawa Berkat Ayam Besar Bikin Salfok
Di samping itu, ada pula yang menyebut tahlilan sebagai bid'ah hingga mengaitkan dengan tradisi agama lain. Ulama Buya Yahya sempat meluruskan hal itu dengan melihat tahlilan sebagai kegiatan untuk menghadiahkan pahala kepada orang yang sudah meninggal.
Selain itu Buya Yahya juga menanggapi terkait perdebatan hari yang dilakukan untuk tahlilan. Ia menilai hitungan hari ke berapapun untuk dilakukan tahlilan hanya soal tradisi, jika harinya diubah pun tidak masalah. Sehingga dapat disimpulkan, mengkhususkan hari tertentu seperti tujuh hari berturut-turut dari kematian seseorang, hari ke-40, ke-100, ke-1000, malam Jumat atau malam lainnya untuk membaca Al Quran dan kalimat thayyibah maka hukumnya boleh.
Walau esensi dari tahlilan itu baik, beberapa kalangan memang masih memperdebatkan hukum dan kebolehannya. Namun bisa disimpulkan amalan tahlil boleh dilakukan dan bisa bernilai pahala jika niat yang ditujukan ikhlas karena Allah Ta’ala.
Sementara itu terkait makanan yang disuguhkan dalam tahlilan, hal itu bukan termasuk pesta kematian, melainkan bentuk wujud memuliakan tamu yang dicontohkan Rasulullah SAW. Ini dilakukan untuk membalas kebaikan tamu yang sudah mendoakan sang mayit.
Bahkan, Ketua PBNU Bidang Keagamaan KH Ahmad Fahrur Rozi pun menyarankan agar jamuan tahlilan tidak perlu yang mewah-mewah. Cukup sederhana dan semampunya, air putih dan kue pun seadanya saja.
Kontributor : Trias Rohmadoni