Suara.com - Geledah Ruang Fraksi di Gedung DPRD Jatim, KPK Temukan Dokumen Penting Perterang Kasus Suap Sahat Tua Simanjuntak
Kasus dugaan suap pengurusan hibah dari anggaran APBD provinsi Jawa Timur (Jatim) yang menjerat Wakil Ketua DPRD Jatim, Sahat Tua Simanjuntak masih terus ditelusuri penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Penyidik KPK kembali melakukan penggeledahan di Kota Surabaya, tepatnya di Gedung DPRD Jawa Timur.
Kepala Bidang Pemberitaan KPK, Ali Fikri, mengatakan pada penggeledahan yang dilakukan pada Selasa (20/12) kemarin, KPK fokus pada ruangan sejumlah fraksi anggota dewan.
Baca Juga: Luhut Sebut OTT Melulu Tak Baik Bikin Negara Jelek, Pukat UGM Bela KPK: Penindakan Jangan Kendur
"Untuk lokasinya, masih berada di gedung DPRD Jawa Timur dan difokuskan pada beberapa ruang kerja fraksi," kata Ali lewat keteranganya, Rabu (21/12/2022).
Hasil penggeledahan ditemukan sejumlah dokumen penting, yang disebut Ali semakin membuat terangnya kasus suap yang menjerat Sahat yang merupakan anggota dewan dari partai Golkar.
"Ditemukan dan diamankan berbagai dokumen yang diduga dapat membuat terang perkara ini," ujar Ali.
Selanjutnya sejumlah dokumen itu akan dianilisis, untuk kemudian dikonfirmasi ke pihak terkait dalam perkara ini.
"Nantinya dikonfirmasi kepada para pihak yang segera dipanggil sebagai saksi," kata Ali.
Baca Juga: 'Sulit Dipahami Logikanya' Komentar ICW Usai Dengar Luhut Sebut OTT Bikin Nama Indonesia Jelek
Sehari sebelumnya, Senin (19/12), KPK juga melakukan penggeladahan di dua tempat di Kota Surabaya, yakni Gedung DPRD Jatim dan rumah tinggal pihak terkait dalam perkara ini.
Di Gedung DPRD Jatim, KPK menggeledah ruangan Sahat, dari sana disita sejumlah dokumen berbentuk fisik dan elektroik beserta uang tunai.
Sahat Jadi Tersangka
Sahat yang merupakan anggota dewan fraksi Golkar menjadi tersangka bersama tiga orang lainnya, yaitu Rusdi (RS) yang merupakan staf ahli Sahat Tua, Abdul Hamid (AH) Kepala Desa Jelgung, Kecamatan Robatal, Kabupaten Sampang, sekaligus Koordinator Pokmas (Kelompok Masyarakat), dan Ilham Wahyudi (IW) alias Eeng, koordinator lapangan Pokmas.
Temuan KPK, Sahat diduga memanfaatkan jabatan sebagai Wakil Ketua DPRD Jatim dengan meminta bayaran untuk membantu meloloskan usulan penerimaan dana hibah dari APBD Jatim tahun 2021 dan 2022 yang dialokasikan senilai Rp 6,7 triliun.
Dana bernilai fantastis itu ditujukan bagi badan, lembaga, dan organisasi masyarakat yang ada di pemerintah provinsi Jawa Timur.
Abdul meminta bantuan Sahat untuk mendapatkan dana hibah. Antara keduanya terjadi kesepakatan, Sahat mendapatkan 20 persen dari dana hiba yang nantinya dicairkan, sementara Abdul mendapatkan 10 persen.
Akhirnya pokmas yang dikelolah Abdul, mendapatkan hibah dua kali, dengan nilai masing-masing Rp 40 miliar pada tahun 2021 dan 2022.
Agar kembali mendapatkan dana pada tahun 2023 dan 2024, Abdul kembali menghubungi Sahat. Terjadi kembali kesepatakan antara keduanya. Sahat meminta uang muka Rp 2 miliar.
Kemudian baru diberikan Abdul Rp1 miliar lewat Eeng ke Rusdi, staf Sahat. Rusdi kemudian memberikan uang Rp1 miliar itu kepada Sahat setelah ditukarkan dalam bentuk mata uang asing.
Dana Rp1 miliar tersebut diterima Sahat di ruangannya di Kantor DPRD Jawa Timur pada Rabu (14/12) lalu. Pada saat itu juga Sahat ditangkap KPK dalam operasi tangkap tangan.
Temuan sementara KPK, Sahat diduga menerima uang sebesar Rp5 miliar.
"Diduga dari pengurusan alokasi dana hibah untuk Pokmas, tersangka STPS (Sahat) telah menerima uang sekitar Rp5 miliar," kata Wakil Ketua KPK Johanis Tanak.
Namun gua menemukan jumlah pasti dugaan suap yang diterima sahat KPK masih terus melakukan penyelidikan.
"Tim penyidik masih akan terus melakukan penelusuran dan pengembangan terkait jumlah uang dan penggunaannya yang diterima tersangka STPS (Sahat)," kata Johanis.
Atas perbuatan Sahat dan Rusdi yang disebut sebagai penerima suap dijerat dengan Pasal 12 huruf a atau huruf b atau b Jo Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.
Sementara Abdul dan Eeng selaku pemberi suap dijerat dengan Pasal 12 huruf a atau huruf b atau b Jo Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.