Sejarah Pengadilan di Indonesia Pakai Tes Poligraf, Kini Dipakai di Kasus Sambogate

Sabtu, 17 Desember 2022 | 10:16 WIB
Sejarah Pengadilan di Indonesia Pakai Tes Poligraf, Kini Dipakai di Kasus Sambogate
Potret Ferdy Sambo dan Istri, Ilustrasi lie detector [Suara.com/Alfian Winnato]/ [Shutterstock]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Kasus pembunuhan Brigadir J atau yang kini populer di telinga publik sebagai kasus Sambogate memperkenalkan penggunaan alat poligraf alias pendeteksi kebohongan.

Alat tersebut digunakan untuk mengetes kejujuran Ferdy Sambo dan Putri Candrawathi saat menjawab serangkaian pertanyaan yang dilontarkan oleh tim penyidik. Siapa sangka, kedua pasutri tersebut ditemukan indikasi berbohong alias tak lulus tes poligraf tersebut.

Aji Febriyanto Arrosyid yang merupakan ahli teknis poligraf dari kepolisian mengungkap hasil skor Ferdy dan Putri yang jatuh pada angka minus.

Aji dalam sidang yang digelar di PN Jakarta Selatan, Rabu (14/12/2022) kemarin mengungkap skor yang diperoleh Ferdy Sambo adalah minus 8. Lebih kecil dari Sambo, skor poligraf Putri terjun drastis hingga angka minus 25.

Baca Juga: Tak Akui Tembak Mati Brigadir J, Tapi Ferdy Sambo Akui Salah

Sejarah penggunaan alat poligraf dalam pengadilan di Indonesia

Kehadiran alat poligraf atau lie detector di kasus Sambogate membuat publik penasaran dengan seluk beluk alat tersebut.

Adapun alat tersebut ditemukan pada abad ke-20 oleh para penemu di Amerika Serikat. Banyak versi kisah penemuan alat tersebut, namun keseluruhan mengatakan bahwa para pakar kriminologi berusaha menggunakan alat pengukur kondisi fisiologis seorang kriminal yang menentukan apakah ia berkata jujur atau tidak.

Alat poligraf kemudian mulai digunakan oleh penegak hukum di Indonesia usai kehadirannya yang cukup kondang di proses penengakan hukum di Amerika Serikat dan negara lainnya.

Penggunaan alat poligraf di Indonesia juga telah diatur dalam hukum, yakni tertuang dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2009.

Baca Juga: Di Depan eks Anak Buah, Ferdy Sambo: Saya Tidak Tahu Bagaimana Membalas Dosa Saya

Ketentuan tersebut mengatur alat poligraf dapat digunakan sebagai alat bukti dalam persidangan, dengan catatan dilakukan melalui prosedur forensik.

Sepanjang sejarah, para penegak hukum telah menghadirkan alat bukti berupa hasil tes poligraf di pengadilan sebanyak empat kasus besar. Keempat kasus tersebut juga menggunakan alat poligraf sebagai pertimbangan untuk memberi vonis pada terdakwa.

Alat poligraf pertama kali digunakan dalam kasus yang menyeret Zimar, seorang pelaku pemerkosaan anak dibawah umur.

Kala itu, Zimar disinyalir berbohong saat diinterogasi melalui alat poligraf. Hasil tes tersebut mendukung beberapa hasil forensik lainnya untuk mempertimbangkan vonis yang dijatuhkan padanya.

Kemudian, alat poligraf kembali digunakan pada kasus yang menyeret seorang petinggi sekolah internasional di Jakarta bernama Neil Bantleman. Bantelman merupakan seorang warga asal kanada yang menjabat administrator Jakarta Intercultural School dan divonis atas tindakan pencabulan pada beberapa siswa di sekolah tersebut.

Alat poligraf terakhir digunakan pada kasus Agustay Handa May dan kasus Margriet Christina Megawe. Penggunaan hasil tes poligraf pada kasus Sambo akan ditentukan di kemudian hari sebagai pertimbangan vonis eks Kadiv Propam tersebut.

Kontributor : Armand Ilham

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI