Suara.com - Sidang obstruction of justice atau perintangan penyidikan kembali digelar hari ini Jumat (16/12/2022). Kali ini, Irfan Widyanto duduk sebagai terdakwa.
Dalam sidang hari ini, Ferdy Sambo hingga bekas anak buahnya Hendra Kurniawan duduk sebagai saksi untuk didengar keterangannya.
Dikutip dari siaran live sidang obstruction of justice pembunuhan Brigadir J yang disiarkan kanal YouTube KompasTV, eks Kapolda Jawa Barat Irjen (Purn) Anton Charliyan mengatakan, ada satu kunci yang bisa meringankan atau bahkan membuat para terdakwa anak buah Ferdy Sambo bebas dari jeratan hukum.
Menurut jenderal polisi yang juga mantan Kadiv Humas Polri itu, sejauh mana para terdakwa itu mengetahui apakah cerita (terkait penembakan Brigadir J) itu benar atau tidak.
"Kalau mereka tahu cerita ini direkayasa kemudian mereka membantu, ya itu sudah jelas," kata Anton.
"Kemudian kesengajaan mereka membantu apakah betul-betul membantu meluruskan rekayasa itu sendiri atau tidak. Namun kalau ceritanya hanya mengamankan barang bukti, kemudian diserahkan kepada penyidik. saya kira itu tidak salah," sambungnya.
Menurut Anton, kunci utamanya satu, bahwa para terdakwa anak buah Ferdy Sambo itu tahu tidak tentang cerita yang sebenarnya.
"Bahwa ceritanya begini tapi kenyataannya begini, siapa tahu mereka percaya apa yang diceritakan FS (Ferdy Sambo), sehingga membantu dalam rangka hal tersebut, kalau tidak tahu, ya mungkin ini harus ringan (hukumannya) atau bebas," kata Anton.
"Jangan sampai banyak korban hanya karena perbuatan satu orang," imbuh dia.
Baca Juga: Tak Terima Dipecat dari Polri, Hendra Kurniawan: Prosesnya Tidak Profesional
Anton juga menyoroti soal waktu kejadian sebagaimana dalam dakwaan kasus obstruction of justice. Yakni tempus delictinya hanya perbuatan tanggal 9. Sementara perbuatan menghilangkan tanggal 13.
"Tempus delictinya harus dihitung betul," kata dia.
Dalam kasus obstruction of justice Brigadir J ini, Irfan, Hendra, dan Agus didakwakan atas perkara merintangi penyidikan dalam kasus pembunuhan Brigadir J, bersama dengan empat anggota Polri lainnya, yakni Ferdy Sambo, Arif Rachman Arifin, Baiquni Wibowo, dan Chuck Putranto.
Ketujuhnya dijerat dengan pasal 49 jo pasal 33 UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.