Suara.com - Pakar kebijakan publik menilai pernyataan Kementerian Keuangan dalam menanggapi kritik keras Bupati Meranti, Muhammad Adil, arogan dan melenceng dari substansi.
Menurut ekonom dan pakar kebijakan publik Narasi Institute, Achmad Nur Hidayat, respons Kemenkeu yang disampaikan melalui staf khusus Menkeu, Yustinus Prastowo, terkesan angkuh.
“Bantahan itu kesannya Kemenkeu jadi arogan,” kata Achmad dalam video di kanal Youtube-nya, dikutip dari Warta Ekonomi pada Kamis (15/12).
Pernyataan Yustinus itu terkesan menyerang balik sosok Muhammad Adil dengan menyebutkan rendahnya daya serap di Kepulauan Meranti, yang menyebabkan daerah itu miskin. Selain itu, tanggapan Kemenkeu dilihat tidak menjawab esensi keluhan sang bupati.
“Sebagai seorang politisi, dia [Muhammad Adil] harus men-deliver programnya pada masyarakat, sementara program yang dia janjikan tidak bisa berjalan kalau dia tidak punya anggaran mencukupi di APBD, dan salah satu pendapatan APBD itu dana transfer daerah, dana bagi hasil migas. Nah, ini yang dia protes, mengapa jumlah menurun,” ujarnya.
“Bukan dana bagi hasil secara keseluruhan tetapi khusus yang migas. Padahal, menurut dia, klaimnya bahwa wilayahnya dia jumlah minyak yang diambil itu meningkat terus, harga dolar juga meningkat, dan BBM dalam negeri meningkat. Kok, daerah malah enggak dapat hasilnya. Itu esensi pertanyaannya,” tambahnya.
Seperti diberitakan sebelumnya, Muhammad Adil mempertanyakan Dana Bagi Hasil (DBH) minyak di Kepulauan Meranti. Dirinya mengeklaim bahwa daerahnya memproduksi hingga delapan ribu barel minyak per hari tetapi hanya menerima DBH sebesar Rp 114 miliar berdasarkan hitungan 60 per barel.
Ia pun mendesak Kemenkeu untuk menggunakan perhitungan 100 dolar AS per barel pada tahun 2023.
Setelahnya, stafsus Yustinus menyebut paparan Adil tidak benar dan memintanya memperbaiki kinerja sebagai seorang bupati.
"Jadi, daripada menyampaikan pandangan tak berdasar dan tak sesuai mekanisme kelembagaan, saudara Bupati Meranti seharusnya terus berupaya untuk memperbaiki kinerja dalam pengelolaan anggaran yang masih rendah dan pembangunan di daerah Meranti untuk kesejahteraan masyarakat daerahnya,” ujarnya.
“Kasihan publik dikecoh dengan sikap seolah heroik untuk rakyat. Faktanya, ini manipulatif. Justru [pemerintah] pusat terus bekerja dalam bingkai konstitusi dan NKRI. Mestinya kita tingkatkan koordinasi dan sinergi, bukan obral caci maki. Kami meradang lantaran etika publik menghilang!" pungkas Prastowo.