Suara.com - Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariej mengaku tidak khawatir dengan maraknya sorotan dari negara-negara luar, termasuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) terhadap Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) versi baru.
Seperti diketahui negara-negara tersebut menyoroti keberadaan pasal tentang kesusilaan. Menurut Edward hal itu bukan menjadi masalah bagi pemerintah.
Sebab, kata dia, substansi KUHP di seluruh dunia sama. Terkecuali mengenai politik, penghinaan, dan kesusilaan.
Karena itu pasal yang mengatur kesusilaan di Indonesia tidak dapat dibandingkan dengan negara lain.
Baca Juga: Aturan Perzinahan di KUHP Baru Disebut Tenaga Ahli KSP Bisa Kurangi Risiko Main Hakim Sendiri
"Jadi saya tidak risau," kata Edward dalam diskusi yang digelar di DPR, Rabu (14/12/2022).
Edwars lantas menyoroti sikap masyarakat yang justru cenderung pro dengan pandangan negara-negara luar atas KUHP. Padahal pasal yang mengatur kesusilaan merupakan ranah negara masing-masing.
"Kita punya kedaulatan. Saya kira menlu tegas memanggil PBB untuk tidak mengintervensi hukum Indonesia," ucapnya.
Ia juga mempertanyakan mengenai sikap-sikap negara lain yang terkesan hanya mengintervensi aturan di Indonesia. Sementara aturan negara lain yang mengatur hal serupa tidak disorot.
"Jadi kalau kesusilaan mengapa anda tidak protes Eropa Utara yang melegalkan aborsi. Mengapa AS tidak memprotes Rusia soal LGBT. Jadi soal kesusilaan antara negara berbeda," kata Edward.
Baca Juga: Gegara KUHP Baru, Ferdy Sambo Bisa Lolos dari Hukuman Mati, Kok Bisa?
PBB Khawatir
PBB di Indonesia menyampaikan kekhawatirannya atas KUHP hasil revisi yang baru disahkan oleh DPR RI. Kekhawatiran PBB tersebut dilandaskan dengan pasal-pasal kontroversial yang bertentangan dengan HAM.
Banyak pasal dalam KUHP baru yang kemudian menjadi sorotan PBB. Seperti misalnya, pasal yang berpotensi mengkriminalisasi karya jurnalistik dan melanggar kebebasan pers.
Potensi diskriminasi juga dianggap akan timbul melalui pasal yang terkandung dalam KUHP.
"Orang lain akan mendiskriminasi, atau memiliki dampak diskriminatif pada, perempuan, anak perempuan, anak laki-laki dan minoritas seksual dan akan berisiko mempengaruhi berbagai hak kesehatan seksual dan reproduksi, hak privasi, dan memperburuk kekerasan berbasis gender, dan kekerasan berdasarkan orientasi seksual dan identitas gender," demikian yang dijelaskan melalui keterangan tertulis PBB seperti dikutip Suara.com, Kamis (8/12/2022).