Suara.com - Payem, seorang pedagang asongan asal Klaten yang telah berusia lanjut adalah salah satu dari sekian banyak pedagang yang merasakan berkah liburan. Payem telah berdagang di sekitar Masjid Agung, selama kurang lebih 45 tahun lamanya.
Perempuan berusia 60 tahun ini menjual berbagai macam kerajinan tangan, jajanan dan juga kain-kain batik. Posisi Masjid Agung yang berdekatan dengan Keraton Surakarta membuat Payem betah menjajakan batang-barang dagangannya, lantaran ramai pengunjung.
“Senang kalau ramai begini. Kemarin dulu waktu pandemi susah karena tempat-tempat ibadah tutup semua jadi nggak bisa jualan," ungkap ibu dari 4 anak ini.
Menurut Payem, pendapatannya akan melonjak ketika ada acara budaya atau kegiatan ibadah.
“Kalau ada Sekaten itu, paling kecil dapat Rp150 ribu sampai Rp200 ribu, bahkan sampai Rp500 ribu," lanjutnya.
Kegembiraan peringatan Sekaten itu tidak hanya dirasakan oleh masyarakat saja, melainkan juga menjadi berkah tersendiri bagi pedagang kecil seperti Payem dan pedagang lainnya.
Para pedagang ini tidak berjualan menetap di satu tempat saja, melainkan menyesuaikan momen yang ada. Menurut Payem, dia juga kerap berjualan di sekitar klenteng jika ada perayaan Imlek atau perayaan Cap Go Meh.
Ramainya pengunjung saat momen liburan tiba banyak mendatangkan rezeki bagi pedagang yang berjualan disekitar rumah-rumah ibadah di Solo.
Solo yang dikenal dengan Kota Toleran itu memang menawarkan wisata religi dan wisata budaya, yang sanggup memberikan pengalaman yang tidak mudah dilupakan bagi pengunjung. Beragam suku bangsa dan agama yang mendatangi Kota Solo demi mendapatkan liburan yang berkualitas, tak hanya bagi jasmani tapi juga sehat bagi rohani.
Baca Juga: Solo Kota Ramah dan Bertoleransi
Sejumlah pedagang mengaku mendapatkan berkah karena pendapatannya melebihi penghasilannya sehari-hari. Hal ini tidak lepas dari harmonisasi yang terjadi dalam proses bermasyarakat warga Kota Solo. Dari pengamatan, aktifitas perdagangan di sekitar rumah ibadah bisa dilakukan oleh siapapun tanpa memandang agama dan asal suku.
Bahkan ada seorang pedagang yang tampak menggunakan jilbab sedang menjajakan barang dagangannya berupa dupa, yang biasanya dipakai dalam prosesi ibadah umat Konghucu.
Perwujudan moderasi beragama nampak jelas dalam kehidupan warga Kota Solo sehari-harinya. Ragam agama dan budaya yang hidup berdampingan, saling menghidupi dan mencukupi adalah bukti nyata bahwa kemajemukan itu tidak selalu menimbulkan jarak satu sama lain, tetapi justru merekatkan antara penganut agama satu dan yang lainnya.
Sudah sepantasnya moderasi, toleransi dan tradisi ditanamkan untuk merawat Indonesia yang damai, saling menghormati dan menjaga keamanan bersama tanpa harus menimbulkan konflik karena perbedaan yang ada.
Indonesia merupakan negara multikultural yang dikenal dengan keragaman budaya, suku, agama dan bahasa. Kota Solo hanyalah satu dari sekian banyak daerah yang memiliki karakteristik keberagaman dalam beragama.
Setiap manusia yang mempunyai agama wajib untuk menghormati, sekaligus mengakui agama lain tanpa membeda-bedakan. Penting bagi setiap warga negara untuk menerapkan prinsip-prinsip kemerdekaan dan sikap toleransi terhadap pemeluk agama lain yang mempunyai latar belakang sosial budaya yang berbeda.
Banyak pedagang kecil seperti Payem yang dijumpai. Jumlahnya bisa mencapai puluhan di satu titik, mungkin saja ratusan di hari-hari perayaan tertentu.
Pedagang-pedagang kecil sangat merasakan besarnya manfaat dari kerukunan antar umat beragama di Kota Solo. Mungkin saja jika tidak ada toleransi, moderasi beragama dan juga upaya menjaga tradisi di daerah ini, Payem dan teman-temannya tidak bisa leluasa menjajakan barang-barang dagangannya.