Suara.com - Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Edward Omar Sharif Hiariej, mengatakan pihaknya siap beradu argumen dengan pihak-pihak yang menolak disahkannya Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Hukum Undang-Undang Pidana atau RKUHP.
Usai pengesahan pada Selasa (6/12), pejabat kementerian yang akrab disapa Prof. Eddy itu menganggap proses untuk mengesahkan RKUHP menjadi UU merupakan langkah yang tepat terlepas dari masih banyaknya pihak yang meminta agar pengesahan itu ditunda. Ia bahkan mempersilakan para penolak untuk berdebat dengan ahli-ahli di Kemenkumham.
“Kalau dikatakan banyak penolakan, berapa banyak, substansinya apa. Datang dan debat dengan kami,” katanya secara terbuka dalam konferensi pers di Gedung DPR pagi ini.
Lebih lanjut, Eddy juga menolak anggapan bahwa proses pengesahan dilakukan secara terburu-buru karena pembahasan ini telah dimulai sejak tahun 1963.
“Anda coba jawab sendiri apa 59 tahun itu terburu-buru,” ujarnya. “Tidak ada terburu-buru.”
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Komisi III DPR, Bambang Wuryanto, mengatakan proses ini sudah dilakukan selama beberapa dekade, tepatnya sejak tahun 1963. Dengan demikian, Eddy menganggap cap “terburu-buru” itu tidak tepat.
“Kalau [proses berjalan dengan] cepat dibilang terburu-buru, [kalau] lambat dibilang lambat,” kata Eddy.
Seperti diberitakan, hari ini, rapat paripurna DPR menyetujui RKUHP menjadi UU.
Semua fraksi sepakat RKUHP menjadi UU, termasuk fraksi Partai Demokrat dan PKS yang setuju dengan catatan.
Pengesahan RKUHP menjadi UU dilakukan di tengah penolakan sejumlah kalangan yang menganggap masih terdapat pasal-pasal bermasalah.
Bambang Wuryanto sebelumnya juga telah mempersilakan pihak-pihak yang masih menolak pengesahan ini untuk mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi.
"Kalau ada yang memang merasa sangat mengganggu, kami persilakan kawan-kawan menempuh jalur hukum dan tidak perlu perlu berdemo," katanya.
Sehari sebelumnya, Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly, juga menyarankan kelompok masyarakat yang tidak puas dengan RKUHP untuk menggunakan jalur hukum.
Yasonna mengatakan pemerintah sudah melakukan sosialisasi ke berbagai daerah sekaligus menampung masukan dari masyarakat dalam penyusunan RKUHP.
"Kalau masih perbedaan pendapat, ya, itu biasa dalam demokrasi. Tetapi, tidak berarti harus membajak sesuatu untuk membatalkannya," kata Yasonna, Senin (5/12).