Suara.com - Setiap anak di Indonesia, terlepas latar belakang ekonomi, sosial budaya, etnis, dan agama memiliki kesempatan dan hak yang sama untuk memperoleh pendidikan. Begitu pula bagi anak-anak perempuan maupun laki-laki, keduanya memiliki kesempatan yang sama untuk mengenyam pendidikan berkualitas.
Sekolah Responsif Gender, sebuah program kolaboratif yang diinisiasi oleh Program INOVASI (Inovasi Untuk Anak Sekolah Indonesia), yang merupakan kemitraan Pemerintah Indonesia dan Australia di bidang pendidikan, bersama UMSIDA (Universitas Muhammadiyah Sidoarjo), menggerakkan kesadaran dan aksi nyata agar sekolah semakin responsif terhadap isu-isu gender. Harapannya, langkah tersebut menjadi salah satu perwujudan pendidikan berkualitas yang makin inklusif di Indonesia.
Dosen sekaligus Ketua Pusat Studi Gender dan Perlindungan Anak (PSGPA) UMSIDA, Kamil Wachidah, menegaskan bahwa sudah seharusnya sekolah memberikan kesempatan yang adil baik bagi anak perempuan maupun laki-laki, yang berkebutuhan khusus maupun non-berkebutuhan khusus, apapun latar belakang, warna kulit, sosial ekonomi, agama, dan lain sebagainya.
Bicara tentang gender, lanjut Kamil, seringkali terjadi misinterpretasi terhadap istilah tersebut di tengah masyarakat. Padahal, gender merupakan suatu dinamika sosial, ada gender secara biologis dan ada pula gender secara peran sosial. Gender secara biologis ialah gender yang sesuai dengan kodrat manusia, sedangkan gender secara peran sosial ialah sesuatu yang dapat dipertukarkan.
Baca Juga: Dampak Gempa Cianjur, 422 Bangunan Lembaga Pendidikan Alami Kerusakan Fisik
“Misalnya, pekerjaan sebagai pilot selama ini sering digambarkan dengan gambar laki-laki, padahal jika perempuan memiliki kompetensi yang sama mumpuninya, perempuan juga bisa menjadi pilot. Begitu juga dengan pekerjaan chef, selama ini identik dengan gambar ibu memasak di dapur, seakan laki-laki tidak semestinya bergulat di dapur,” ujar Kamil memberi ilustrasi.
Ada empat kata yang dapat merepresentasikan program Sekolah Responsif Gender, yakni akses, partisipasi, kontrol, dan manfaat. Akses, menurut Kamil, mengindikasikan bahwa perempuan dapat memperoleh akses yang sama dengan laki-laki terhadap pendidikan.
“Kita bertanya apakah akses untuk bersekolah anak-anak perempuan di Indonesia sudah memenuhi standar yang sama dengan anak laki-laki?”, tanya Kamil.
Partisipatif artinya sekolah memberikan kesempatan bagi guru perempuan untuk ikut memimpin dan berkontribusi guna kemajuan sekolahnya, sedangkan kontrol berarti guru-guru perempuan memperoleh ruang untuk berpendapat dan menuangkan ide serta gagasan yang ia miliki. Sementara, manfaat artinya guru-guru dan tenaga kependidikan perempuan memiliki kesempatan yang sama untuk mengembangkan pendidikannya, sama seperti rekan mereka yang laki-laki.
Di sisi lain, Kepala SDN Durung Bedug, Sidoarjo, Jawa Timur, Titin Kusminarsih, menyampaikan bahwa Sekolah Responsif Gender adalah sekolah yang tanggap terhadap ketimpangan gender.
Baca Juga: Guru tekankan pentingnya kolaborasi hadapi disrupsi pendidikan Tanah Air
“Sekolah yang responsif terhadap isu gender adalah sekolah yang tanggap terhadap ketimpangan gender di sekolah, misalnya bullying, stereotype, marginalisasi, subordinasi, dan beban ganda bagi perempuan,” ujar Titin.
Titin mengaku bahwa kepala sekolah, guru, dan semua staf di sekolahnya menjadi makin memahami apa itu materi gender setelah mengikuti program pelatihan. Mereka pun mulai mengimplementasikannya di sekolah.
“Kami kemudian coba menerapkannya dan melakukan berbagai inovasi di sekolah. Kami juga menyesuaikan RKS (Rencana Kerja Sekolah) kami agar responsif terhadap isu gender,” terang Titin.
Indonesia sebenarnya hampir mencapai kesetaraan gender dalam hal angka partisipasi sekolah. Berdasarkan Gender Parity Index, Indonesia memperoleh nilai 0,97. Dalam indeks tersebut, nilai di bawah 1 menunjukkan makin kecilnya kesempatan bagi anak perempuan dalam meraih pendidikan, sebaliknya, nilai lebih dari 1 menunjukkan makin besarnya kesempatan bagi anak perempuan memperoleh pendidikan.
Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek), Nadiem Anwar Makarim menyadari bahwa pada masa sekarang sudah seharusnya pendidikan tak lagi memandang gender. Baik kaum laki-laki maupun perempuan memiliki kesempatan yang sama, serta penting bagi perempuan mendapatkan pendidikan sejak dini.
“Keterampilan yang dimiliki oleh perempuan yang berpendidikan bisa ikut mengangkat derajat kehidupan keluarga baik secara ekonomi maupun sosial,” tutur Nadiem.
Ada banyak hal yang masih harus dibenahi di Indonesia demi pendidikan yang lebih inklusif. Pernikahan anak dan perundungan misalnya, merupakan dua dari beragam isu yang merampas ketercapaian yang adil terhadap pendidikan di Indonesia (Afkar, Yarrow, Surbakti, & Cooper: 2020). Oleh karena itu, negara melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) hadir dan berupaya untuk terus berinovasi demi pendidikan berkualitas yang makin inklusif di Indonesia, salah satunya melalui kebijakan Asesmen Nasional (AN) dan Rapor Pendidikan.
Melalui AN, siswa, guru, dan kepala sekolah menjadi sampel pemetaan mutu pendidikan secara nasional. Hasil AN kemudian dipublikasikan melalui platform Rapor Pendidikan. Melalui platform tersebut, satuan pendidikan akan memperoleh hasil iklim kesetaraan gender pada tiap satuan pendidikan. Hasil tersebut bisa dijadikan acuan oleh satuan pendidikan untuk mengidentifikasi, merefleksi, dan membenahi isu-isu yang ada di sekolah, misalnya ketimpangan gender.
Di sisi lain, hasil AN dan berbagai survei nasional lain yang terintegrasi dalam platform Rapor Pendidikan dapat pemerintah daerah gunakan, terutama dalam menyusun perencanaan pembangunan daerahnya. Data yang ada tentu akan memperkaya perencanaan tersebut. Dengan demikian, pendidikan yang berkualitas yang inklusif perlahan tapi pasti dapat dirasakan oleh seluruh anak Indonesia.
Dengan memanfaatkan Rapor Pendidikan, dinas pendidikan dan satuan pendidikan dapat mengidentifikasi kondisi daerah dan satuan pendidikannya secara riil. Data yang ada dalam Rapor Pendidikan bukan sekadar ‘pemberitahuan’ kepada daerah dan satuan pendidikan, melainkan sebagai titik mula untuk merefleksikan dan membenahi kualitas pendidikan secara menyeluruh.