Singgung Kasus Sambo, YLBHI Endus Dugaan Obstruction of Justice Dalam Kasus Pemerkosaan di Kemenkop UKM

Rabu, 23 November 2022 | 17:17 WIB
Singgung Kasus Sambo, YLBHI Endus Dugaan Obstruction of Justice Dalam Kasus Pemerkosaan di Kemenkop UKM
Ketua YLBHI Muhamad Isnur. (Suara.com/Yaumal)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mengendus adanya upaya obstruction of justice atau perintangan penyidikan yang dilakukan oleh kepolisian dalam kasus pemerkosaan pegawai Kementerian Koperasi (Kemenkop) dan UKM.

Ketua YLBHI Muhammad Isnur menilai, dalam penanganan kasus tersebut polisi seolah mengaburkan dan menghilangkan tindak pidana yang dilakukan oleh para pelaku.

"Ada sebuah peristiwa tindak pidana kemudian dilakukan pengujian dengan alasan ada perdamaian dan itu levelnya pemerkosaan dan kita melihat ada dugaan kuat ada obstruction of justice. Ada upaya-upaya pengaburan atau penghilangan tindak pidana, tapi disembunyikan," kata Isnur di kantor YLBHI, Jakarta Pusat, Rabu (23/11/2022).

Isnur kemudian menyinggung perihal kasus pembunuhan Brigadir Yosua yang diotaki Ferdy Sambo dengan cara mengatur skenario baku tembak.

Baca Juga: LPSK Minta Polisi yang Tangani Kasus Pemerkosaan di Kemenkop UKM Diperiksa

Dalam kasus pemerkosaan di Kemenkop UKM, Isnur mendesak agar polisi dan pihak-pihak yang mengajukan langkah restorative justice (RJ) turut diperiksa.

"Kalau kayak kasus Sambo kan seolah-olah dibuat tembak-menembak, tapi kalau di sini ada sebuah RJ. Para penyidiknya dan anggota yang ada di level polres, apakah ada intervensi-intervensi? Apakah ada sejumlah upaya-upaya pendekatan kepada pihak pelapor, kepada keluarganya?" ungkap Isnur.

Temuan Terbaru

Sebelumnya, tim independen pencari fakta kasus pemerkosaan di Kemenkop dan UKM menguak kejanggalan dalam penanganan kasus tersebut. Salah satunya, ada unsur kekerabatan yang membuat kasus tidak berjalan, dan justru dibiarkan.

Ketua Tim Independen Pencari Fakta, Ratna Batara Munti menjelaskan, setelah dilakukan pendalaman terdapat temuan adanya faktor kekerabatan para pelaku dengan tim majelis etik. Sehingga, penanganan kasus dari internal tidak berjalan dan pelaku lolos dari jeratan hukum.

Baca Juga: Tim Independen Ungkap Temuan Baru Kasus Pemerkosaan di Kemenkop UKM

"Karena temuan kami yang juga perlu digarisbawahi, penanganan ini tidak tuntas justru dihambat itu karena faktor relasi kekerabatan, kita punya pohon kekerabatan, karena dari semua pelaku itu punya dahan ranting kekerabatan di mana-mana. Dan itu selama ini dianggap biasa, akibat ada nepotisme dampaknya ini adalah masalah yang terjadi antara pegawai," ujarnya dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa (22/11/2022).

Selain itu, Ratna membeberkan, tim internal Kemenkop UKM juga telah abai penanganan korban. Karena, korban tidak mendapatkan pendampingan psikologi maupun hukum.

"Terkait dengan korbannya sendiri, tidak ada upaya pendampingan hukum ke korban, sejak kasus itu dilaporkan, bahkan saat korban dinikahkan, tidak memproses kasusnya di internal," ucap dia.

Atas temuan itu, tutur Ratna, tim independen merekomendasikan agar Kemenkop UKM menjatuhkan hukum yang paling berat kepada pelaku utama. Dua pelaku utama, direkomendasikan diganjar hukuman pemecatan.

Kasus Dilanjutkan

Menko Polhukam Mahfud MD menegaskan penanganan kasus pemerkosaan pegawai Kementerian Koperasi dan UKM oleh empat rekan kerja terus dilanjutkan.

Hal itu lantaran surat perintah penghentian penyidikan kasus tersebut dibatalkan setelah Mahfud melakukan rapat bersama LPSK, Kabareskrim Komjen Agus Andrianto, Kompolnas, kejaksaan, Kemenkop UKM di kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Senin (21/11/2022).

"Oleh sebab itu kepada empat tersangka dan tiga saksi, yaitu N, MF, WH, ZPA (tersangka), kemudian saksinya yang juga dianggap terlibat itu, A, T, dan H itu supaya diproses ke pengadilan," kata Mahfud dalam keterangan video dari Humas Kemenko Polhukam, hari ini.

Kasus itu sempat berhenti karena mendapat SP3 dengan alasan laporan telah dicabut.

Mahfud menjelaskan alasan SP3 karena pencabutan laporan itu tidak benar secara hukum. Di dalam hukum, laporan tidak bisa dicabut, sementara pengaduan dapat dicabut.

Ia juga menegaskan, tidak ada konsep restorative justice pada kejahatan yang serius. Oleh karena itu, perkara tersebut harus terus dibawa ke pengadilan.

"Kalau kejahatan yang serius, yang ancamannya misalnya lebih dari empat tahun atau lebih dari lima tahun itu tidak ada restorative justice," ujarnya.

"Karena ini banyak yang salah kaprah. Ada orang tertangkap korupsi, lalu minta restorative justice. Tidak ada restorative justice di dalam kejahatan," katanya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI