Suara.com - Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Daryono mengungkap sejarah gempa di Kabupaten Cianjur. Ia menyebut daerah tersebut memang sudah diguncang gempa sejak dulu karena dilalui sesar Cimandiri.
Sebelumnya diketahui, gempa bumi dengan magnitudo 5,6 mengguncang Kabupaten Cianjur, Jawa Barat pada Senin (21/11/2022), tepatnya pukul 13.21 WIB. Gempa itu juga dirasakan warga Jawa Barat, Banten, dan DKI Jakarta.
Menurut catatan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) ada 162 korban (kebanyakan anak-anak) meninggal dunia akibat gempa tersebut. Selain itu, 2.345 rumah dilaporkan rusak parah.
Di beberapa kawasan tersebut, kata Daryono, masih terdapat sesar aktif yang berpotensi memicu terjadinya gempa. Adapun makna Cimandiri sendiri sebagai patahan geser dengan panjang sekitar 100 kilometer.
Baca Juga: Sumber Gempa yang Harus Diwaspadai di Jakarta dan Jawa Barat, Sesar Lembang hingga Baribis
Sesar ini menjalar dari muara Sungai Cimandiri di Pelabuhan Ratu, Kabupaten Sukabumi, lalu berjalan ke timur laut melewati Kabupaten Cianjur, Kabupaten Bandung Barat, hingga sampai Kabupaten Subang.
Gempa bumi di Kabupaten Cianjur, lanjut Daryono yang berdampak kerusakan parah terjadi pada tahun 1844, 1879, 1910, dan 1912. Namun, sejak penggunaan seismograf, berikut catatan sejarah gempa di Kabupaten Cianjur.
- 2 November 1969, skala 5,4 (ada banyak korban dan kerusakan).
- 26 November 1973 (ada kerusakan)
- 10 Februari 1982, skala 5,5 (ada 7 korban luka dan banyak rumah rusak)
- 12 Juli 2000, skala 5,4 (1900 rumah rusak)
- 12 Juni 2011 (136 rumah rusak)
- 4 Juni 2012 (104 rumah rusak).
- 8 September 2012 (560 rumah rusak)
- 11 Maret 2020 (760 rumah rusak)
- 21 November 2022, skala 5,6 (ada ratusan korban dan ribuan rumah rusak)
Tak hanya itu, Daryono juga mengatakan jika skala yang mengguncang Cianjur pada Senin kemarin sebetulnya tidak terlalu besar. Namun, gempa 5,6 itu memicu kerusakan parah karena berjenis tektonik kerak dangkal.
Ia menambahkan jika struktur bangunan di kawasan tersebut tidak memenuhi standar tahan gempa. Terbukti dengan banyaknya pembangunan rumah para penduduknya yang memakai besi tulangan atau semen standar.
Lokasi permukiman warga yang berada di daerah tanah lunak juga menurutnya menjadi penyebab resonansi gelombang. Ini yang akhirnya memperburuk dampak guncangan gempa. Ditambah, rumah di lereng mengalami kerusakan parah karena topografi yang tidak stabil.
Baca Juga: Naik Motor Saat Gempa Bumi, Rebahkan Kendaraan dan Jalan Kaki ke Tempat Aman
Daryono menyarankan seharusnya ada upaya menanggulangi gempa agar sejarah tak kembali terukir. Sementara itu, BMKG mencatat hingga Selasa (22/11/2022) pukul 07.30 WIB, telah terjadi 122 gempa susulan berskala 1,5 sampai 4,2.
Kontributor : Xandra Junia Indriasti