Suara.com - Presiden Prancis Emmanuel Macron menuduh Rusia menyebarkan propaganda anti-Prancis di negara-negara Afrika yang tengah bergejolak, di mana Prancis mengalami kemunduran militer dan kehilangan sebagian pengaruhnya dalam beberapa tahun terakhir.
Di sela-sela KTT negara-negara berbahasa Prancis yang digelar di Tunisia, Presiden Macron diminta menanggapi kritik yang mengatakan bahwa Prancis mengeksploitasi ikatan ekonomi dan politik bersejarah di bekas koloninya demi kepentingan sendiri.
"Persepsi ini ditebar oleh orang lain, ini jelas bermotif politik," kata Macron dalam wawancara TV5 Monde, dikutip Minggu (20/11). "Saya tidak bodoh, banyak influencer, terkadang berbicara di program Anda, tapi dibayar oleh Rusia. Kami tahu mereka.”
"Sejumlah kekuatan, yang ingin menyebarkan pengaruhnya di Afrika, melakukan ini untuk menghantam Prancis, merugikan bahasanya, menabur keraguan, tetapi yang jelas, mereka mengejar kepentingan tertentu," tambahnya.
Prancis, bekas kekuatan kolonial di sebagian besar Afrika Barat dan Tengah, memiliki hubungan militer cukup lama di negara-negara Afrika berbahasa Prancis. Selain itu, pasukan Prancis juga ditempatkan di Mali selama satu dekade sebagai bagian dari operasi kontra-terorisme.
Kritikus menggambarkan operasi Prancis itu sebagai sebuah kegagalan dan menyalahkan negara itu karena menyebabkan kawasan itu semakin tidak stabil.
Prancis juga dianggap berebut pengaruh dengan Rusia yang dalam beberapa tahun terakhir yang mengerahkan tentara bayaran Wagner Group di beberapa negara, termasuk di Republik Afrika Tengah (CAR) dan Mali.
Paris terpaksa menarik pasukan di Mali setelah militer negara Afrika itu mengambil alih kekuasaan dalam kudeta tahun 2020. Para pemimpin militer negara Afrika tersebut kemudian mengundang Wagner untuk membantu pertempuran selama satu dekade melawan kelompok militan Islam dan memutuskan hubungan dengan Prancis.
Rusia mengatakan Wagner tidak mewakili negara Rusia atau dibayar oleh mereka. Namun, Uni Eropa menjatuhkan sanksi pada Wagner dan menuduh kelompok itu melakukan operasi rahasia atas nama pemerintah Rusia.
Tahun lalu, sebuah laporan PBB mengatakan instruktur militer Rusia dan pasukan lokal di Republik Afrika Tengah telah menargetkan warga sipil dengan kekuatan berlebihan, pembunuhan tanpa pandang bulu, pendudukan sekolah, dan penjarahan besar-besaran.
Kremlin membantah laporan itu.
Pada Minggu, Macron mengatakan perilaku Rusia adalah ibarat "predator".
"Anda hanya perlu melihat apa yang terjadi di Republik Afrika Tengah atau di tempat lain untuk melihat proyek Rusia yang sedang berlangsung di sana, ketika Prancis disingkirkan, [hal] itu adalah proyek predator," kata Macron.
"Itu dilakukan dengan keterlibatan junta militer Rusia," katanya menambahkan. [Antara]