Suara.com - Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengungkap kronologi intimidasi dan pembubaran paksa yang diduga dilakukan aparat kepolisian terhadap Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan 18 pimpinan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) di Bali, jelang penyelenggaraan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20.
Koordinator KontraS, Fatia Maulidiyanti, menyatakan mereka mengutuk keras kejadian tersebut.
"Adanya berbagai bentuk represi tersebut, menunjukan adanya pengamanan yang berlebihan terkait penyelenggaraan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20, serta melalui peristiwa ini, membuktikan menyempitnya ruang kebebasan sipil yang dapat mengancam kehidupan berdemokrasi," kata Fatia lewat keterangannya, Rabu (16/11/2022).
Dari informasi yang diterima KontraS, peristiwa tindakan refresif aparat bermula ketika pengurus YLBHI dan 18 LBH mengadakan rapat kelembagaan pada 12 November 2022, sekitar Pukul 12.30 WITA. Sejumlah orang yang mengaku petugas desa menanyakan kegiatan tersebut dan menyampaikan larangan selama kegiatan G20 berlangsung.
Baca Juga: Lagi dan Lagi, Jokowi Minta Perang Dihentikan di Forum KTT G20
Selanjutnya sekitar Pukul 17.00 WITA datang puluhan anggota kepolisian yang tidak berseragam bersama dengan petugas desa dan sejumlah orang yang mengaku pecalang. Mereka melakukan intimidasi dengan memaksa YLBHI untuk menghentikan acara, meminta secara paksa KTP hingga hendak melakukan penggeledahan yang disertai memeriksa seluruh gawai seperti laptop dan handphone milik peserta rapat.
"Permintaan tersebut ditolak oleh YLBHI karena tidak beralasan secara hukum. Setelah terjadi negosiasi, baru pada Pukul 20.00 WITA sejumlah peserta diperbolehkan kembali ke tempat penginapan masing-masing, namun selama di perjalanan mereka dibuntuti dengan beberapa orang yang mengendarai sepeda motor," ungkap Fatia.
Tak berhenti di situ, pada esok hari yakni pada 13 November 2022, sekitar Pukul 08.00 WITA, salah seorang peserta yang ingin keluar villa, karena jadwal penerbangan siang, dilarang oleh sejumlah orang yang mengaku pecalang dengan alasan perintah tugas.
Namun pada pukul 11.12 WITA, para peserta memaksa untuk keluar dan berpindah tempat dan didapati sekelompok orang tersebut berkumpul di depan villa, lalu meneriaki anggota YLBHI yang meninggalkan lokasi.
"Bahkan hingga menuju bandara I Gusti Ngurah Rai, para peserta dibuntuti oleh 5 (lima) orang yang mengendarai 3 (tiga) sepeda motor dan 1 (satu) mobil," ucap Fatia.
Baca Juga: Aksi-Aksi Jokowi di KTT G20, Jadi Sopir Angkut hingga Minta Petinggi Negara Lepas Jas
Atas rentetan peristiwa itu, KontraS menilai telah terjadi pelanggaran yang serius terkait kebebasan dasar manusia yang berkaitan dengan hak atas rasa aman, hak atas bebas untuk berekspresi dan bebas untuk berpendapat.
Hak-hak tersebut dijamin oleh Pasal 28E ayat (3) dan Pasal 28G ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 23 dan Pasal 30 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia serta Pasal 19 Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik.
"Dijaminnya hak dasar tersebut oleh Konstitusi dan sejumlah peraturan perundang-undangan, memberikan kewajiban bagi negara untuk memberikan perlindungan dan penghormatan terhadap setiap hak asasi manusia seseorang. Sehingga sudah seharusnya negara berkaitan dengan kasus ini aktif untuk memberikan perlindungan bukan justru membiarkan dan bahkan diduga melakukan pelanggaran hukum dan hak asasi manusia melalui instrumen keamanan," kata Fatia.
Atas hal tesebut, KontraS menyampaikan tiga sikap:
Pertama, Polda Bali melakukan upaya hukum dengan segera dan komprehensif terhadap aktor-aktor yang melakukan tindakan ancaman dan intimidasi yang dialami Pengurus YLBHI dan Pimpinan 18 (delapan belas) LBH kantor;
Kedua, Komnas HAM melakukan pengusutan mengenai dugaan keterkaitan sejumlah peristiwa represi kebebasan sipil dengan kebijakan Pam Swakarsa yang dibuat oleh institusi Polri;
Ketiga, Pemerintah Republik Indonesia harus patuh dan taat terhadap Konstitusi dan hukum yang berlaku, dengan melindungi dan menghormati hak asasi manusia setiap orang yang diantaranya menjamin hak atas rasa aman, kemerdekaan untuk berekspresi dan berpendapat.