Suara.com - Kasus kematian empat orang dalam satu keluarga di Kalideres, Jakarta Barat, yang belum terungkap telah “memberi ruang” bagi beragam spekulasi liar publik yang belum bisa dibuktikan, kata kriminolog dan pengamat media.
Kriminolog dari Universitas Indonesia, Joasis Simon, mengatakan polisi perlu segera mengungkap kasus ini secara transparan, sebab spekulasi liar yang bermunculan itu dianggap "tidak adil" bagi korban dan keluarganya.
Menurut Joasis, kasus ini mulanya begitu menarik perhatian publik karena sempat muncul narasi "kelaparan" sehingga mengagetkan publik.
“Kasusnya memang bisa dibilang cukup unik untuk mendapat perhatian yang cukup besar, karena ada unsur ‘kelaparan’ itu, masa di zaman sekarang masih ada yang mati kelaparan? Itu yang membuat orang-orang kaget,” kata Joasis kepada BBC News Indonesia.
Baca Juga: Temuan Baru di TKP Sekeluarga Tewas di Kalideres, Adanya Buku-Buku Ajaran Beberapa Agama
Namun seiring berkembangnya temuan-temuan polisi, lalu ditambah keterangan keluarga korban yang meragukan "kelaparan" sebagai pemicunya, muncul ruang kosong yang menyisakan misteri.
Ruang kosong itulah, yang kata pengamat media dari Universitas Gadjah Mada, Wisnu Prasetya, menjadi "sumber konspirasi" yang belum dapat dibuktikan.
Menurut Wisnu, spekulasi-spekulasi liar itu banyak muncul di media sosial.
Mulai dari mengaitkan kasus ini dengan sekte tertentu sampai menyandingkannya dengan kasus kematian Burari di India.
"Spekulasi-spekulasi itu hanya bisa diungkap dengan penyidikan polisi yang transparan dan akuntabel. Meskipun tidak akan menghilangkan spekulasinya sama sekali, tapi setidaknya meminimalisir," kata Wisnu.
Wisnu juga mengingatkan media-media arus utama untuk “tidak terjebak dalam spekulasi” itu dalam memberitakan peristiwa ini.
Baca juga:
- Bianca Devins: Kisah pembunuhan seorang remaja yang dieksploitasi di media sosial
- Perempuan yang membunuh, memenggal, dan membuang sahabatnya divonis penjara seumur hidup
- Suami bunuh istri demi murid belia - misteri 40 tahun terungkap berkat podcast
Empat mayat dalam satu keluarga ini ditemukan di salah satu rumah di Perumahan Citra Garden 1, Kalideres, Jakarta Barat pada Kamis (10/11).
Penemuan itu bermula dari bau busuk yang dicium oleh warga sejak sepekan sebelumnya, yang tertuju pada rumah korban.
Setelah tidak ada sautan dari korban, warga pun mendobrak rumah itu dan menemukan empat mayat tersebut.
Penyidikan polisi kemudian mengungkap bahwa keempat korban ditemukan dalam waktu dan ruangan yang berbeda.
Keempat korban itu bernama Rudyanto Gunawan, 71, kemudian istrinya bernama K. Margaretha Gunawan, 68, anak perempuannya bernama Dian, 40, serta seorang ipar dari Rudyanto yang bernama Budyanto Gunawan, 69.
Apa saja temuan polisi?
Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya Kombes Hengki Haryadi mengaku telah menemukan "titik terang" dalam penyidikan kasus ini, meski belum membeberkannya lebih lanjut.
"Tim gabungan Ditreskrimum Polda Metro Jaya dan Polres Metro Jakarta Barat memperoleh perkembangan yang signifikan dalam penyelidikan berdasarkan metode penyelidikan induktif maupun deduktif," kata Hengki kepada Detik.com pada Selasa (15/11).
Secara terpisah, Ketua Harian Kompolnas Irjen (Purn) Benny Mamoto juga mengatakan bahwa ditemukan beberapa buku berisi ajaran sejumlah agama di rumah keluarga tersebut.
"Melihat adanya hal-hal yang tidak biasa, seperti korban menutup diri dari keluarga, menggunakan alas kaki ditutup plastik, tidak mau ada listrik dan tidak ada makanan di TKP, maka temuan buku-buku menjadi penting untuk didalami," kata Benny.
Namun untuk memastikan apakah temuan-temuan itu terkait dengan kematian mereka, Benny menuturkan penyidik masih akan menunggu pemeriksaan dan pembuktian lebih lanjut.
Masih kepada Detik.com pada Selasa, Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya juga mengatakan bahwa penyebab kematian keempat orang ini "bukan karena kelaparan".
Pekan lalu, Kapolres Metro Jakarta Barat Kombes Pasma Royce mengatakan bahwa hasil autopsi terhadap empat jenazah itu menunjukkan "tidak ditemukan tanda-tanda bekas kekerasan".
Selain itu, pemeriksaan juga menunjukkan bahwa “dari lambung mayat-mayat itu tidak ada makanan”.
“Jadi bisa diduga berdasarkan dari pemeriksaan dari dokter bahwa mayat ini tidak ada makan dan minum cukup lama, karena ditemukan dari otot-otot sudah mengecil,” kata Pasma kepada wartawan pada Jumat (11/11).
Keempat mayat itu diduga mengalami dehidrasi, sehingga ditemukan dalam kondisi “mengering”.
Belakangan, polisi mengatakan menemukan bungkus makanan di rumah tempat kejadian perkara.
Ada pula temuan struk belanja di salah satu supermarket. Polisi masih menyelidiki dugaan-dugaan yang muncul terkait temuan itu.
Mengapa kasus ini begitu menarik perhatian masyarakat?
Menurut Kriminolog Universitas Indonesia, Josias Simon, kasus di Kalideres ini memicu begitu besar perhatian publik karena sempat muncul narasi “kelaparan”.
“Kalau kita bicara kelaparan di situasi pandemi, itu jadi hal yang sensitif untuk diangkat. Ketika muncul dugaan ‘jangan-jangan ini masalah kelaparan’, berarti kan ada sesuatu yang tidak jalan dari program pemerintah,” jelas Joasis.
Joasis menambahkan bahwa dalam pembahasan ini juga tampak perbedaan persepsi soal “kelaparan” berdasarkan hasil forensik dengan “kelaparan” versi yang dipahami publik.
Hasil forensik yang menunjukkan bahwa tidak ditemukan ada bekas makanan di lambung korban, kata Joasis adalah sebuah fakta dalam penyidikan.
Namun persepsi publik soal “kelaparan” itu bisa berbeda dan cenderung mengagetkan.
Seiring berkembangnya temuan-temuan penyidikan, seperti bagaimana keempat orang tersebut ternyata tidak meninggal bersamaan, muncul ruang untuk menggali potensi adanya motif atau penyebab lainnya.
Dugaan kelaparan, menurut Joasis, kemudian menjadi “terlalu aneh” mengingat profil keluarga ini membuat agak sulit mempercayai bahwa mereka begitu kesulitan sampai kelaparan.
“Kemudian dikajilah dari sisi kriminal, kesengajaan, pengabaian, pembiaran dan sebagainya, bahkan berkembang ke keyakinan dan paham tertentu yang mungkin masih melatarbelakangi atau memicu kejadian ini, yang jadi motif dari kejadian ini. Itu masih menjadi teka-teki, menarik buat orang-orang karena sampai sekarang belum terungkap,” jelas Josias.
Joasis menilai berdasarkan temuan-temuan awal yang didapat polisi sejauh ini, kasus ini memang “tergolong unik”.
Tetapi untuk melihat apakah kasus ini tergolong sebagai kasus kriminal biasa maupun tidak, sangat bergantung pada motif yang masih perlu diungkap oleh polisi.
Misteri yang masih melingkupi kasus ini pun memicu banyak spekulasi yang muncul di media sosial. Mulai dari yang mengaitkannya dengan sekte tertentu, sampai menyandingkannya dengan kasus kematian Burari di India.
Bagi Joasis, masih terlalu dini untuk mengaitkan peristiwa ini dengan spekulasi-spekulasi itu.
“Saya juga tidak berani untuk bicara ini terkait keyakinan, bukti-buktinya pun kurang kuat. Kalau kita bicara keyakinan atau sekte, itu kan ada dogma ya yang disampaikan. Jadi keyakinan membakar diri, membunuh diri, ada juga kan yang mengaitkan ke situ. Tapi menurut saya kok tidak ada yang lain dan hanya mereka?”
“Jangan-jangan ini sebenarnya sepele persoalannya, terkait masalah ekonomi dan masalah keluarga yang tidak selesai dan mereka ingin mengasingkan diri dan akhirnya membuat situasinya seperti itu. Agar lebih jelas kepolisianlah yang memastikan itu,” jelas Joasis.
Apa pun motif dan penyebabnya, Joasis menilai spekulasi liar yang tak terbukti ini akan "menyakiti" korban dan keluarganya yang masih hidup.
Bagaimana spekulasi-spekulasi liar itu muncul?
Pengamat media dari Universitas Gajah Mada, Wisnu Prasetya, mengatakan spekulasi-spekulasi liar terkait kasus ini banyak muncul di media sosial.
Kasusnya sendiri tergolong "baru" dan belum ada kasus serupa di Indonesia sebelumnya, sehingga memantik rasa penasaran publik.
Ruang kosong yang belum terjawab soal penyebab kematian empat orang itu juga yang kemudian diisi oleh beragam spekulasi liar.
“Memang di media sosial kita tidak bisa mengontrol ya, kalau di media arus utama kita bisa mengkritik, tapi konspirasi yang beredar banyak di media sosial seperti TikTok," jelas Wisnu.
"Ada yang menyamakan dengan kasus Burari di India tapi kan kita belum tahu penyidikan resminya seperti apa, ada juga yang menghubungkan dengan sekte apokaliptik, tapi itu kan belum bisa dibuktikan,” jelas Wisnu.
Tindakan yang paling penting saat ini, kata Wisnu adalah, bagaimana polisi mengungkap kasus ini secara akuntabel dan menghindari pernyataan-pernyataan yang bisa memicu spekulasi liar.
“Ketika ada spekulasi tapi itu diberitakan secara liar di media sosial itu akan jadi sumber konspirasi baru. Itu penting dilakukan sehingga tidak menjadi liar isunya," kata dia.
Wisnu juga mengingatkan media-media arus utama untuk “tidak terjebak” dalam spekulasi yang sensasional ketika memberitakan kasus ini.
Sejauh ini, dia menilai pemberitaan media-media arus utama “sudah cukup tepat” dengan mengutamakan sumber-sumber dari otoritas seperti kepolisian atau dari narasumber berkompeten seperti kriminolog.
Meskipun, masih ada sebagian kecil pemberitaan yang cenderung sensasional.
Spekulasi liar yang sensasional justru muncul di media sosial yang juga sulit dikontrol.
"Saya berharap media bisa membawa pembahasan kasus ini, mendiskusikan kasus ini secara lebih rasional soal bagaimana kita harus menanggapinya. Beri ruang pada fakta, jangan terjebak pada spekulasi," tutur Wisnu.