Suara.com - Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 yang digelar di Bali kali ini membahas tiga isu utama. Salah satunya ialah soal transisi energi.
Greenpeace mendorong agar pemimpin negara KTT G20 bisa segera mengambil komitmen nyata dan ambisius dalam merespons krisis iklim di samping Indonesia yang dianggapnya masih setengah hati dalam melakukan transisi energi.
"Transisi energi merupakan hal yang pasti saat ini, negara-negara di seluruh dunia akan bergerak ke arah tersebut, termasuk Indonesia. Namun, perlu digarisbawahi, kita harus mempercepat transisi tersebut untuk mencegah dampak krisis iklim yang sudah terlalu besar bagi lingkungan, manusia, dan kesejahteraan. G20 memiliki tanggung jawab untuk itu," kata Kepala Kampanye Iklim Greenpeace Indonesia dalam keterangan tertulisnya, Selasa (15/11/2022).
Menurut Rencana Umum Pengadaan Tenaga Listrik (RUPTL), Indonesia masih akan menggunakan batu bara, paralel dengan phase out secara bertahap hingga tahun 2056.
Baca Juga: Indonesia People's Assembly: 12 Orang Peserta Aksi Tolak KTT G20 Ditangkap Polisi di Mataram
Di sisi lain, pembangunan PLTU baru sebesar 13.8 GW–atau sekitar 42 persen dari kapasitas PLTU terpasang–masih akan terus berlangsung. Kebijakan ini kontradiktif dengan kebutuhan akselerasi transisi energi untuk menghentikan krisis iklim dengan mencegah kenaikan suhu global melampaui 1,5 derajat Celcius–sesuai isi Perjanjian Paris.
Di sisi lain, pemerintah Indonesia telah menyampaikan rencananya untuk melakukan pensiun dini 9.2 GW PLTU Batu bara dengan bantuan internasional pada tahun 2029, di mana 3.7 GW akan digantikan pembangkit listrik terbarukan. Janji ini disampaikan dalam COP 26 di Glasgow pada 2021, selaras dengan penandatanganan Global Coal to Clean Power Transition Statement yang menyetujui penghentian penggunaan batubara pada 2040.
Tata mengatakan bahwa perlu dipastikan agar transisi energi yang akan dilakukan baik oleh Indonesia maupun negara G20 lainnya bebas dari solusi palsu, seperti co-firing dan clean coal technology yang akan memperlambat transisi energi.
"Proses dan mekanisme peralihan ini juga harus melibatkan partisipasi publik, memegang prinsip demokrasi, serta berkeadilan. G20 harus menjadi solusi untuk akselerasi transisi energi, misalnya melalui platform pembiayaan," tuturnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Greenpeace Asia Tenggara sekaligus Ketua Delegasi Greenpeace di Konferensi Perubahan Iklim atau COP27, Yeb Sano, menerangkan bahwa para pemimpin G20 harus memastikan bahwa prinsip-prinsip keadilan iklim diterjemahkan ke dalam skema transisi energi yang cepat dan adil serta yang akan menghapuskan semua penggunaan bahan bakar fosil.
Negara-negara G20, Yeb melanjutkan, menyumbang hampir 80 persen dari emisi global. Oleh karena itu, mereka memiliki tanggung jawab yang jauh lebih besar untuk memastikan tercapainya target 1,5 derajat Celcius.
"Krisis iklim ada di sini, menghancurkan kehidupan, mata pencaharian, komunitas, dan budaya di seluruh planet ini. Waktu tidak ada di pihak kita; para pemimpin harus mengambil langkah berani sebelum kita berakhir dalam bencana iklim permanen.”