Kekang Aktivitas LSM di Bali Selama KTT G20, Pemerintah Dicap Anti Demokrasi

Selasa, 15 November 2022 | 05:05 WIB
Kekang Aktivitas LSM di Bali Selama KTT G20, Pemerintah Dicap Anti Demokrasi
Aktivis Extinction Rebellion Indonesia (XR Indonesia) dan Walhi Jakarta melakukan aksi dengan membentangkan spanduk berisi kalimat sindiran untuk pelaksanaan KTT G20 di JPO Pinisi, Jakarta Pusat, Senin (14/11/2022). [Suara.com/Alfian Winanto]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Sebanyak 12 lembaga swadaya masyarakat atau LSM yang tergabung dalam Organisasi Masyarakat Sipil Indonesia menyatakan upaya pemerintah Provinsi Bali dan pusat yang membatasi aktivitas masyarakat jelang penyelenggaran KTT G20 di Bali sebagai bentuk pembungkaman terhadap ruang demokrasi.

Mereka menegaskan pemerintah Indonesia sebagai pemegang mandat Presidensi G20 seharusnya mengambil kepemimpinan dengan membuka ruang demokrasi seluas-luasnya bagi publik, untuk terlibat secara aktif di dalam penyelenggaraan G20.

"Kami, organisasi masyarakat sipil menilai bahwa kebijakan pembatasan aktivitas publik sebagai upaya meredam suara kritis masyarakat terhadap sistem ekonomi global dan nasional yang berdampak pada krisis multidimensi. Krisis ekonomi, krisis iklim, krisis kesehatan dan lain-lain," tulis mereka dalam keterangannya, Senin (14/11/2022).

Pembatasan aktivitas masyarakat seperti menyampaikan aspirasinya menjadi cerminan sikap pemerintah yang anti demokrasi dan anti kritik, yang tidak menghendaki suara publik yang berbeda, dari narasi yang dibangun oleh pemerintah selama ini.

Baca Juga: Tak Jauh dari Lokasi Pertemuan, Greenpeace Berhasil Gelar Aksi Damai Kreatif di Bali Jelang KTT G20, Begini Pesannya

"Seharusnya suara dari rakyat dan komunitas-komunitas di akar rumput inilah yang turut didengar dan diberi ruang, bukan malah dibungkam," kata mereka.

Upaya pembungkaman yang mereka terima laporannya, terdapat pihak yang mengaku intel melakukan intimidasi terhadap manajer hotel tempat para aktivis lingkungan menginap di Bali.

Pihak yang mengaku intel tersebut, melalui manager hotel, meminta nomor telepon pribadi aktivis yang menginap di hotelnya. Pihak hotel tidak memberikan nomor telepon tersebut dengan alasan melindungi data pribadi pelanggan.

"Selain itu kami juga mencatat adanya pengintaian dan upaya peretasan gawai para aktivis menjelang dan selama pelaksanaan KTT ini," ungkap mereka.

Di samping berdasarkan catatannya, terdapat sejumlah aktivitas masyarakat sipil yang dibatasi atau dibatalkan secara tiba-tiba di antaranya:

Baca Juga: Belum Mulai, KTT G20 di Bali Dinilai 99 Persen Telah Gagal, Ini Alasannya

  • Pengusiran tim pesepeda Greenpeace oleh sekelompok masyarakat di Probolinggo
  • Pembatalan acara sepihak dengan surat edaran desa adat dadakan di Kesiman
  • Ancaman pembubaran diskusi di universitas oleh rektornya sendiri
  • Pembubaran paksa acara internal YLBHI di Sanur dengan intimidasi dan upaya penggeledahan gawai
  • Pembubaran bengkel seni komunitas anak muda di Denpasar karena ada spanduk bertulisan dari Polusi ke Solusi

Mereka pun mendesak para pemimpin negara anggota G20 untuk melihat persoalan demokrasi sebagai isu krusial bagi penyelenggaraan G20.

Dinilai, tanpa keterlibatan atau partisipasi bermakna dari warga negara yang akan terdampak dari kesepakatan yang akan dihasilkan dalam forum G20, maka forum G20 maupun komunike yang akan dihasilkan tidak ada artinya sama sekali bagi warga negara.

"Lebih jauh, hal ini juga akan menjadi sejarah bagi negara-negara anggota G20 dalam mendukung pembungkaman demokrasi di Indonesia," kata mereka.

Adapun 12 LSM kelompok Organisasi Masyarakat Sipil Indonesia di antaranya, 350 Indonesia, XR Indonesia, Satya Bumi, dan Yayasan Pikul. Kemudian, Public Virtue Research Institute, WALHI, Greenpeace Indonesia, Public Virtue Research Institute dan Solidaritas Perempuan. Lalu, Lembaga Peradaban Luhur, Aksi! for Gender, Trend Asia dan Social and Ecological Justice.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI