Suara.com - Hampir dua bulan unjuk rasa anti-pemerintah berlangsung di Iran, rezim telah melakukan aksi tegas untuk menindak demonstrasi.
Sejauh ini, lebih dari 14.000 orang telah ditangkap dan banyak di antaranya telah diadili.
Anggota parlemen Iran kini menyerukan agar para pengunjuk rasa dihukum mati.
'Musuh tuhan'
Dalam sebuah pernyataan yang dibacakan kepada parlemen, sebanyak 227 anggota parlemen - dari total 290 anggota parlemen - menyebut para pengunjuk rasa sebagai "mohareb".
Baca Juga: 40 Hari Kematian Amini, Situs Suci Syiah Di Iran Diserang Kelompok Bersenjata, 15 Orang Tewas
Secara harfiah, kata ini berarti ''pejuang'' dalam bahasa Arab, namun di bawah hukum Islam atau Syariah kata itu bermakna aksi kejahatan yang berarti bertindak sebagai "musuh Tuhan".
Di Iran, sebutan itu membawa ancaman hukuman mati.
Baca juga:
- 'Kami bisa mendengar pemukulan dan teriakan': Kesaksian pengunjuk rasa anti-pemerintah Iran dari dalam penjara
- Kepolisian Iran selidiki video polisi 'menembak' pengunjuk rasa dari jarak dekat - 'mengerikan, kekejaman tanpa batas'
- Lima cara hidup di Iran yang berubah setelah 50 hari aksi protes massal anti-pemerintahan
Parlemen Iran didominasi oleh kelompok politik dan agama garis keras yang mendukung pihak berwenang menindak tegas para pengunjuk rasa.
Setelah pernyataan mereka dibacakan, anggota parlemen meneriakkan, "Darah di pembuluh darah kami adalah hadiah kami untuk Pemimpin".
Baca Juga: Iran Bebaskan 2 Influencer Asal Selandia Baru yang Sebelumnya Ditahan
Mereka juga menyerukan terima kasih mereka kepada polisi dalam menangani unjuk rasa.
Rapper yang terancam hukuman mati
Sejumlah pengunjuk rasa telah didakwa sebagai "mohareb", namun sejauh ini pengadilan belum secara resmi mengumumkan bahwa hukuman mati telah dijatuhkan.
Saman Yasin, seorang rapper dari etnis Kurdi, didakwa pada awal November karena keterlibatannya dalam unjuk rasa.
Kelompok HAM Hengaw melaporkan bahwa pria berusia 27 tahun ini mengalami penyiksaan selama tiga pekan pertama di tahanan.
Namun pihak berwenang Iran menampik tudingan bahwa mereka melakukan kekerasan terhadap para tahanan.
Cuplikan rekaman video di pengadilan dirilis oleh pengadilan namun seorang sumber yang dekat dengan keluarganya berkata pada organisasi HAM setempat bahwa keluarga tak diberi akses untuk bertemu atau menghubunginya sejak dia ditahan lebih dari sebulan lalu.
Orang-orang yang khawatir akan kemungkinan hukuman mati yang ditujukan padanya kemudian menyerukan lewat tagar #SamanYasin dan #DoNotExecute di media sosial.
Warga Iran lain yang kemungkinan menghadapi ancaman hukuman mati adalah Sahand Nourmohammadzadeh.
Kantor berita pengadilan negara Mizan menuduhnya memblokir jalan raya di Teheran "dengan meruntuhkan pagar jalan raya dan membakar tempat sampah dan ban."
Nourmohammadzadeh telah menolak tuduhan itu, dengan mengatakan tempat sampah itu dibakar dalam unjuk rasa yang berlangsung di depan tempat usahanya, namun dia tidak ambil bagian dan tidak berniat membuat gangguan.
'Hakim kematian'
Pemantau Hak Asasi Manusia Iran mengatakan "mohareb" adalah "istilah samar yang digunakan untuk melawan para pembangkang dan siapa pun yang mengancam keamanan rezim".
Dengan tidak adanya proses hukum yang memadai, ini berarti bahwa para terdakwa berada di bawah kekuasaan hakim yang menjatuhkan hukuman terhadap mereka.
"Pengadilan bagi pengunjuk rasa digelar di cabang khusus dari Pengadilan Revolusi Islam dan oleh hakim keamanan khusus," ujar Saeid Dehghan, pengacara HAM di Iran.
Salah satu dari hakim yang ditunjuk untuk mengadili para pengunjuk rasa memiliki reputasi buruk memberi "hukuman yang kejam", menurut Amerika Serikat.
Abolghassem Salavati dijuluki sebagai "Hakim Kematian" di Iran dan mendapat sanksi dari Uni Eropa dan AS.
Dia memiliki sepak terjang menjatuhkan hukuman seperti cambuk di depan umum, hukuman penjara yang lama dan bahkan eksekusi untuk aktivis, jurnalis dan kelompok agama minoritas.
'Pengadilan yang tak adil'
Kelompok HAM berkata bahwa mereka sangat khawatir dengan bagaimana persidangan para pengunjuk rasa itu digelar.
Mereka berkata bahwa pengakuan yang dipaksa kerap menjadi dasar dakwaan bagi mereka.
"Para tahanan disiksa dan ditahan di sel isolasi," ujar Saeid Dehghan.
"Mereka tak mendapatkan akses didampingi pengacara, juga akses untuk menghubungi atau dikunjungi keluarga mereka."
Ketika sampai pada tahap penyelidikan awal, para terdakwa didampingi pengacara yang telah dipilih sebelumnya oleh rezim, kata Dehgan.
"Pengacara yang disetujui pemerintah untuk membela lawan pemerintah."
Dehghan mengatakan pengacara independen tidak diizinkan untuk menangani kasus dan hanya dapat menawarkan nasihat hukum kepada keluarga, yang kemudian menyampaikan informasi itu kepada mereka yang ditahan.
'Membuat contoh'
Juru bicara kehakiman, Masoud Setayeshi, mengatakan dia berharap untuk "membuat contoh" kepada tahanan, tetapi belum ada bukti bahwa ancaman eksekusi atau hukuman berat lainnya memberikan efek jera.
Beberapa hari setelah pernyataan anggota parlemen, unjuk rasa digelar di universitas dan di jalan-jalan.
Dehghan mengatakan kecepatan demonstrasi yang meningkat pesat - dan banyaknya orang yang terlibat di seluruh negeri - kini bisa berarti lebih banyak ancaman hukuman mati.
"Unjuk rasa ini telah berlangsung lama, dan meluas - lebih mirip dengan sebuah revolusi. Jadi pihak berwenang mungkin mengambil sikap yang lebih keras dalam hukuman dan eksekusi," katanya.
Menurut Amnesty International, Iran adalah negara kedua setelah China yang tercatat memberikan hukuman mati kepada warganya, dengan setidaknya 314 orang dieksekusi pada tahun 2021.
Para pegiat dan organisasi hak asasi manusia khawatir mereka hanya punya sedikit waktu untuk memperlambat proses "jalur cepat" - hukuman berat cenderung dijatuhkan dan dilaksanakan dalam proses sidang dengan cepat.