Baru-baru ini, Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Edward Omar Sharif Hiariej menyebutkan sebanyak lima pasal yang dihapus setelah melakukan sosialisasi Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) ke masyarakat.
Mengutip dari berbagai sumber, penghapusan tersebut menjadikan sejumlah pasal dalam draf RKUHP terbaru berubah dari yang mulanya 632 menjadi 627 pasal.
Adapun 5 pasal yang dihapus dari RKUHP diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Pasal 277
Baca Juga: Meski Tak Persoalkan Target, DPR Tetap Tak Mau Buru-buru Sahkan RKUHP
Pasal 277 menjadi pasal yang dihapus dari RKUHP. Dalam pasal ini disebutkan bahwa:
Setiap Orang yang membiarkan unggas miliknya atau yang diternak olehnya berjalan di kebun atau tanah yang telah ditaburi benih atau tanaman milik orang lain hingga menimbulkan kerugian dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori II.
2. Pasal 278
Pasal 278 menjadi salah satu pasal yang turut dihapus, dimana pasal ini berisi:
(1) Setiap Orang yang membiarkan unggas miliknya atau yang diternaknya berjalan di kebun atau tanah yang telah ditaburi benih atau tanaman milik orang lain hingga menimbulkan kerugian dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori II.
Baca Juga: Transisi RKUHP Ideal 3 Tahun, Wamenkumham: Pemerintah Semakin Lama Semakin Bagus
(2) Ternak sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) dapat dirampas untuk negara.
3. Pasal 344
(1) Setiap Orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran atau perusakan lingkungan hidup hingga melebihi baku mutu lingkungan hidup dan kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun atau paling banyak kategori VI.
(2). Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di atas, mengakibatkan adanya luka berat, akan dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun atau paling banyak kategori VII.
(3) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di atas mengakibatkan matinya orang atau hilangnya nyawa seseorang, akan dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau paling banyak kategori VII.
4. Pasal 345
Pasal 345 turut dihapus, dimana pasal ini berbunyi sebagai berikut:
(1) Setiap orang yang karena kealpaannya atau kekhilafannya mengakibatkan pencemaran atau perusakan lingkungan hidup yang melebihi baku mutu lingkungan hidup, serta kriteria baku kerusakan lingkungan hidup sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan, akan dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau dipidana denda paling banyak kategori III.
(2) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di atas mengakibatkan adanya luka berat bagi orang, akan dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV.
(3) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan matinya orang atau menghilangnya nyawa seseorang, akan dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (liima) tahun atau pidana denda paling banyak kategori V.
5. Pasal 429
Terakhir, pasal yang turut dihapus adalah Pasal 429, yang berbunyi:
Setiap Orang yang bergelandangan di jalan atau di tempat umum hingga mengganggu ketertiban umum akan dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori I.
Selain adanya penghapusan terhadap lima pasal dalam RKUHP ada juga perubahan lain atau pembaruan yang dilakukan pada rancangan KUHP tersebut.
Diketahui, dalam draf RKUHP terbaru, menyebutkan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat presiden serta wakil presiden (wapres) tidak dikategorikan sebagai sebuah tindak pidana apabila dilakukan dalam aksi unjuk rasa.
Hal tersebut disebutkan di bagian penjelasan pasal 218 draf RKUHP yang diserahkan oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) ke Komisi III DPR pada hari Rabu (9/11.2022).
Disebutkan dalam Pasal 218 ayat (1), setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri presiden dan/atau wapres dipidana dengan pidana penjara maksimal tiga tahun atau denda paling banyak Rp 200 juta.
Lalu, dalam Pasal 218 ayat (2) disebutkan bahwa hal tersebut tidak berlaku apabila perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri.
Tidak hanya itu, disebutkan juga dalam Pasal 218 ayat (2), bahwa hal yang dimaksud dengan ‘dilakukan untuk kepentingan umum’ adalah melindungi kepentingan masyarakat yang diungkapkan salah satunya melalui aksi unjuk rasa.
Lebih lanjut, ayat tersebut juga menjelaskan bahwa dalam negara yang demokratis, kritik menjadi suatu hal yang penting sebagai bagian dari kebebasan berekspresi yang sedapat mungkin memiliki sifat yang konstruktif. Meskipun mengandung ketidaksetujuan terhadap perbuatan, kebijakan, atau tindakan presiden dan/atau wapres.
Selain itu, terdapat dua pasal yang mengatur tentang penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat presiden wakil presiden, yaitu yang tertuang dalam Pasal 219 dan 220.
Disebutkan dalam Pasal 219, setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat terhadap presiden dan/atau wakil presiden dengan maksud agar isinya diketahui atau lebih diketahui umum dapat dipidana dengan penjara maksimal empat tahun atau denda maksimal Rp 200 juta.
Lalu, dalam Pasal 220 yang berisikan dua ayat disebutkan hal sebagai berikut:
(1) Menyatakan tindak pidana penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat presiden dan wakil presiden hanya bisa dituntut berdasarkan aduan.
(2) Menyatakan pengaduan dapat dilakukan secara tertulis oleh presiden dan/atau wakil presiden.
Kontributor : Syifa Khoerunnisa