Suara.com - Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad tidak mempermasalahkan dengan target pengambilan keputusan tingkat I untuk revisi KUHP pada 22 November 2022. Akan tetapi, Dasco ingin agar jangan sampai DPR RI diburu-buru dengan hasil yang bisa menimbulkan gejolak di kemudian hari.
Hal itu disampaikan Dasco lantaran masih ada pasal-pasal KUHP yang krusial sehingga masih perlu pembahasan secara hati-hati.
"Dari hasil pantauan kami dan juga komunikasi teman-teman di Komisi III memang masih ada pasal-pasal yang krusial yang perlu dibahas hati-hati," kata Dasco di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (10/11/2022).
"Sehingga, adapun target pengesahan itu menurut kami boleh-boleh saja tapi jangan sampai karena terburu-buru ada hal yang tidak bisa dituntaskan dengan baik dan menimbulkan gejolak di kemudian hari," sambungnya.
Dalam kesempatan tersebut, Dasco menyampaikan bahwa hingga saat ini Komisi III DPR RI masih melakukan pembahasan revisi KUHP secara maraton. Pembahasan soal revisi KUHP masih terus berjalan. Kekinian, sebanyak lima pasal di RKUHP dihapus pemerintah di dalam draf terbaru RKUHP per 9 November. Penghapusan itu sebagai akomodasi usai pemerintah melakukan dialog publik.
Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward OS Hiariej menyebutkan lima pasal yang dihapus.
"Lima pasal yang dihapus itu adalah satu soal advokat curang. Dua, praktik dokter dan dokter gigi. Tiga, penggelandangan. Empat, unggas dan ternak. Lima adalah tindak pidana kehutanan dan lingkungan hidup," kata Edward usai rapat dengan Komisi III DPR, Rabu (9/11/2022).
Dalam mengakomodasi masukan publik, pemerintah mengubah draf RKUHP. Mulai dari penghapusan pasal, reformulasi pasal, penambahan, dan reposisi.
Terkait reformulasi, ada tiga poin yang dipaparkan Edward. Antara lain, poin a ialah menambahkan kata 'kepercayaan' di pasal-pasal yang mengatur mengenai agama. Kemudian poin b, mengubah frasa 'pemerintah yang sah' menjadi 'pemerintah'.
Baca Juga: Transisi RKUHP Ideal 3 Tahun, Wamenkumham: Pemerintah Semakin Lama Semakin Bagus
Poin c, mengubah pasal 218 mengenai penyerangan harkat dan martabat presiden dan wakil presiden.