'Bandarnya Belum Sepakat' Kelakar Fahri Hamzah Soal Gagalnya Deklarasi Koalisi Pendukung Anies 10 November

Kamis, 10 November 2022 | 13:16 WIB
'Bandarnya Belum Sepakat' Kelakar Fahri Hamzah Soal Gagalnya Deklarasi Koalisi Pendukung Anies 10 November
Wakil Ketua Umum Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia Fahri Hamzah [SuaraSulsel.id/Dokumentasi Gelora]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Koalisi Partai Demokrat, PKS, dan Nasional Demokrat (NasDem) yang rencananya bakal dideklarasikan 10 November telah dipastikan batal.

Deklarasi tersebut menurut pertinggi NasDem kemungkinan bakal mundur hingga akhir tahun.

Pemunduran itu ditengarai karena PKS masih harus menggelar rapat majelis syuro sementara Ketua Umum (Ketum) Demokrat Agus Harumurti Yudhoyono (AHY) baru pulang ke Indonesia pada 10 November.

Menanggapi hal tersebut, Wakil Ketua Umum Partai Gelora Fahri Hamzah menyebutkan bahwa mundurnya deklarasi terkait dengan belum ada kesepakatan bandar.

Baca Juga: Dear Kader NasDem, Simak Pesan Waketum: Jangan Terintimidasi Medsos, Jadilah Jubir Yang Sopan Untuk Anies

Politisi Partai Gelora Indonesia Fahri Hamzah menyebut Papua sebagai alternatif lokasi yang paling pas dijadikan ibu kota baru Indonesia (akun instagram @fahrihamzah).
Politisi Partai Gelora Indonesia Fahri Hamzah menyebut Papua sebagai alternatif lokasi yang paling pas dijadikan ibu kota baru Indonesia (akun instagram @fahrihamzah).

Fahri menyebutkan untuk memenuhi Presidential Threshold 20 persen, partai bisa bergabung untuk membangun koalisi namun keputusan itu tergantung dengan sosok bandar.

"Ya ini maksudnya pembelian tiket itu pengumpulan tiket 20 persen itu bukan kerja Parpol ini kerja bandar, parpol enggak sanggup Anies Baswedan enggak sanggup," ungkap Fahri Hamzah dalam perbincangan di Adu Persektif.

"Ini deklarasi tanggal 10 November udah gagal bos, gara-gara bandar belum sepakat, duit belum terkumpul, 20 persen belum terkumpul ya gagal," imbuhnya.

Lebih lanjut Fahri Hamzah meyebutkan bahwa partai yang cukup terbebas dari bandar adalah PDI Perjuangan.

Pasalnya PDIP sudah memenuhi ambang batas 20 persen dari presidential threshold dari pemilu sebelumnya.

Baca Juga: Medsos Jadi Ranah Penghakiman, NasDem Ungkap Pihak yang Tak Puas Usung Anies Baswedan Tarung Pilpres 2024

"Yang agak bebas dari bandar cuma PDIP, cuma PDIP enggak punya calon sendiri enggak populer, calonnya enggak dikehendaki, itu kan dilema," kelakar Fahri.

"Makanya aturlah semua partai boleh mengusung calonnya sendiri," imbuhnya.

Bakal calon presiden dari Partai NasDem, Anies Baswedan, bertemu dengan Ketua Umum Partai Demokrat, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dan sejumlah elite Nasdem hingga PKS di kediamannya, Lebak Bulus, Jakarta Selatan pada Selasa (25/10/2022). [Foto ist/ IG @aniesbaswedan]
Bakal calon presiden dari Partai NasDem, Anies Baswedan, bertemu dengan Ketua Umum Partai Demokrat, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dan sejumlah elite Nasdem hingga PKS di kediamannya, Lebak Bulus, Jakarta Selatan pada Selasa (25/10/2022). [Foto ist/ IG @aniesbaswedan]

Mengenal Aturan Presidential Threshold

Merangkum berbagai sumber, secara garis besar presidential threshold adalah ambang batas kepemilikan kursi di DPR agar bisa mengusulkan calon presiden dan wakil presiden.

Persentase minimal dari kepemilikan kursi ini bisa berupa suara dari partai politik atau gabungan parpol yang dijadikan syarat untuk mengajukan calon presiden dan wakil yang diterapkan di RI sejak tahun 2004.

Seiring berjalannya waktu, aturan tentang Presidential Threshold mengalami perubahan sesuai dengan undang-undang yang mendasari setiap pemilihan umum.

Aturan umumnya adalah partai yang mengusulkan merupakan peserta pemilu yang mendapat suara dalam pemilu serta memiliki kursi di DPR.

Pada tahun 2009, partai politik atau gabungan partai politik bisa mengajukan presiden dan wakil presiden jika memiliki sekurang-kurangnya 25 persen kursi di DPR atau 20 persen suara sah nasional dalam Pemilu Legislatif.

Ambang batas 20 persen itu juga masih diberlakukan pada Pilpres 2014 yang mengcu pada UU Nomor 42 Tahun 2008. Begitu juga Pilpres pada 2019 dngan ambang batas sama dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI