Suara.com - Kania Yuthika menjadi salah satu dari tim pesepeda Greenpeace yang tengah menjalani tur untuk mendengar beragam cerita dari warga yang terkena imbas dari krisis iklim di berbagai wilayah di Indonesia. Dalam perjalanannya, Kania merasa sedih setelah mendapatkan perlakuan baik dari orang tak dikenal.
Ceritanya Kania tengah berada di sebuah penginapan di Surabaya. Jumat pagi, Kania memutuskan untuk sarapan seorang diri dan berpisah dengan rekan-rekan lainnya yang tengah menjalani aktivitas berbeda.
Saat tengah menyantap sarapan, Kania menyadari ada laki-laki dan perempuan yang ia sebut bapak dan ibu tengah duduk di sampingnya.
Kala itu, Kania mendengar pihak laki-laki meminjam korek ke resepsionis. Namun resepsionis mengaku tidak memiliki korek.
Akhirnya, Kania menawarkan korek untuk dipinjamkan ke laki-laki tersebut.
Sesudah dipinjamkan korek, dua orang yang tidak dikenalnya itu langsung bersikap ramah bahkan menawarkan untuk bergabung karena melihat Kania yang tengah makan seorang diri.
Kania sempat terbatuk ketika menyantap sarapannya. Kemudian laki-laki itu pergi dan kembali dengan membawa gelas berisikan air hangat.
"Dia bilang mbak, ini minum dulu supaya nggak batuk," cerita Kania dalam konferensi pers secara virtual, Rabu (9/11/2022).
Kania masih berusaha berpikir positif kalau laki-laki itu memang memiliki sikap yang baik meskipun terhadap orang asing. Setelah itu, yang perempuan kembali ke meja usai sebelumnya sempat pergi.
Perempuan itu kemudian melemparkan beberapa pertanyaan ke Kania. Kania tidak habis pikir ketika si perempuan itu mengetahui detail kalau dirinya merupakan tim pesepeda.
Klaim perempuan itu sempat melihat deretan sepeda yang diparkir di halaman penginapan. Padahal Kania sendiri belum melihat sepedanya karena dibawa dengan tim logistik.
Setelah selesai, Kania berpamitan kepada keduanya. Hal yang membuat ia merasa aneh, laki-laki itu meminta foto bersama dan langsung menempatkan diri di samping Kania.
"Terus dia minta nomor telepon aku," ucapnya.
Rekannya sesama pesepeda, Eko Satrio Purnomo kemudian menanyakan siapa orang itu kepada Kania. Kania akhirnya mengetahui dari Eko kalau kedua orang itu merupakan bagian dari pihak yang mengikuti mereka.
"Itu siapa, Kan?" tanya Eko.
"Nggak tahu, baru kenal," jawab Kania.
"Dia (Eko) bilang itu pihak dari mereka yang ngikutin kita," kata Kania.
Kania langsung merasa sedih karena perlakuan baik tersebut ternyata hanya kamuflase dari orang yang menguntit tim pesepeda Greenpeace. Ia juga merasa tertekan karena kegiatannya kerap diawasi oleh orang tidak dikenal.
"Aku mulai ngerasa tertekan, nggak ada ruang privacy, padahal kita hanya menyambangi saudara-saudara kita yang terdampak krisis iklim," tuturnya.
Penguntit itu, kata Kania, selalu memantau tim pesepeda Greenpeace. Mereka menyadari kehadiran penguntit itu ketika mereka masih berada di Blora untuk menemui warga suku Samin.
Tepat di gapura, mereka sempat disambut oleh suku Samin. Kala itu ia menyadari ada yang mengawasi di balik gapura.
"Aku sadar juga ada sosok yang lain daripada kegiatan kita dan itu memang terang-terangan memisahkan diri berada di balik Gapura ada dua orang di sana yang mantau kita, foto-foto kita," terangnya.
Hingga ke Semarang, tim pesepeda Greenpeace juga diikuti oleh mobil yang dibawa orang tidak dikenal. Mereka tidak segan untuk membuka kaca dan mengambil foto dari dalam mobil.
"Kita masih was-was pun iya dan bertanda tanya ini mereka sedang apa, maunya apa."
Diintai Hingga Diintimidasi
Sebelumnya, Lembaga Advokasi dan Kajian Demokrasi Public Virtue Research Institute (PVRI) mengecam aksi represi yang menyasar aktivis yang hendak berkampanye di Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 Bali 2022. Sebab, KTT G20 seharusnya menjadi ruang antikritik.
Direktur Eksekutif PVRI Miya Irawati berpendapat, seharusnya negara hadir melindungi warga negaranya yang hendak menyampaikan pendapatnya di muka umum."Pemerintah harus tegas dalam melindungi serta menjamin kebebasan masyarakat dalam menyampaikan pendapatnya di muka umum. Hal tersebut dapat menjadi pesan penting terhadap dunia bahwa Pemerintah Indonesia berkomitmen dalam menciptakan pemerintahan yang demokratis," ujar Miya dalam siaran persnya, Rabu (9/11/2022).
Miya juga menyinggung persoalan regresi demokrasi di Indonesia. Menurut dia, proses kemunduran demokrasi di Indonesia juga dipengaruhi akibat ancaman atau penggunaan kekerasan oleh masyarakat yang menghambat kebebasan berkumpul dan berserikat.
"Tidak boleh ada pembiaran terhadap kekerasan! Justru perlindungan pemerintah terhadap ruang-ruang berpendapat masyarakat dapat menjadi arus balik di tengah tren regresi demokrasi dunia, utamanya di Indonesia," sambungnya.
Beberapa acara dan kampanye yang digawangi oleh aktivis iklim dibatalkan hingga mendapatkan penghadangan, intimidasi, serta dugaan peretasan alat komunikasi.
Pada 5 November 2022, cara bertajuk “Ruang Aspirasi dan Seni Anak Muda Bali untuk Iklim” harus dibatakan. Sebab, penyelenggaraan kegiatan itu diklaim menimbulkan keramaian selama KTT G20.
Tak hanya itu, tim pesepeda Greenpeace Chasing the Shadow juga mengalami dugaan represi serta intimidasi. Selama perjalanan, mereka kerap diintai oleh pihak-pihak tidak dikenal, didatangi oleh pihak yang mengaku polisi, serta diikuti oleh dua sampai tiga mobil.
Tepat di Probolinggo, Jawa Timur, tim pesepeda Greenpeace diintimidasi oleh sekelompok masyarakat, mereka diminta untuk tidak melanjutkan perjalanan ke Bali sesuai rute perjalanan yang diagendakan.