Suara.com - Prancis akan segera mengakhiri operasi anti-jihadis yang digelar di daerah perbatasan Sahel, Afrika, setelah sebelumnya mengumumkan penarikan pasukan militer dari Mali.
BBC mengabarkan bahwa Presiden Emmanuel Macron akan menyampaikan pidato di Toulon pada Rabu (9/11) untuk secara resmi mengakhiri Operasi Barkhane yang telah berlangsung selama delapan tahun.
Usai mengumumkan penarikan pasukan pada Februari lalu, salah satu langkah anti-jihad yang diambil pemerintah Prancis ini memang sudah tidak beroperasi.
Pasukan Prancis yang terakhir telah meninggalkan markas mereka di kota Gao, Mali, pada 15 Agustus.
Kantor presiden Prancis, Istana Elysee, menyebut Presiden Macron berencana menguraikan prioritas baru yang akan menjadi basis bagi intervensi militer di Afrika pada masa mendatang.
Operasi Barkhane diluncurkan tahun 2013 guna membendung penetrasi kelompok jihadis di Mali, Afrika Barat, dan sempat melibatkan hingga 5.500 tentara Prancis.
Namun, para petinggi militer dan politisi di Prancis disebut meragukan kelangsung operasi tersebut karena masih berlanjutnya penyebaran di wilayah berbagai kelompok yang terafiliasi dengan Al-Qaeda dan Islamic State serta bertambah panjangnya daftar korban tewas dari sisi pasukan Prancis, yaitu 58 orang.
Macron diperkirakan akan mengatakan bahwa Prancis tidak benar-benar menghentikan perang melawan militan Islam di kawasan itu tetapi menekankan bahwa upaya tersebut akan dilakukan melalui strategi yang berbeda.
Sekitar 3.000 tentara Prancis akan tetap berada di Niger, Chad, dan Burkina Faso, tetapi mereka tidak akan bertindak secara independen dan hanya akan terlibat dalam rencana terkoordinasi dengan tentara nasional.
Selain itu, penempatan ini ini tidak akan memiliki nama resmi, yang mengindikasikan bahwa operasi itu bukan lagi "operasi eksternal" seperti Barkhane.
Beberapa ahli mengatakan Prancis dalam posisi yang cukup terdesak untuk mengakui kegagalan Barkhane setelah junta di Mali secara tiba-tiba memutuskan hubungan.
“Tujuan awalnya adalah untuk menghentikan penyebaran jihadisme di Sahel dan untuk menjalin kemitraan yang kuat dengan tentara Mali,” kata Elie Tenenbaum, spesialis pertahanan dari Institut Hubungan Internasional Prancis (IFRI).
"Hari ini, kemitraan strategis itu berantakan ... sementara jihadisme semakin meluas di kawasan itu dan mengakar lebih dalam di masyarakat."