Suara.com - Aktivis kemerdekaan Papua Filep Jacob Semuel Karma atau yang lebih dikenal dengan Filep Karma, tutup usia pada hari Selasa, 1 November 2022 lalu.
Filep ditemukan meninggal dunia di Pantai Base G Jayapura usai menyelam dan terbawa arus di usianya yang ke-63 tahun.
Putri Filep, Andrefina Karma mengatakan kepada media penyebab kematiannya adalah "murni kecelakaan", namun organisasi hak asasi manusia menuntut adanya penyelidikan lebih lanjut.
Nama Filep dikenal setelah pada tahun 1998, ia memimpin pengibaran bendera Bintang Kejora di Biak hingga dipenjara selama 10 bulan, setelah mengajukan banding terhadap hukuman penjara yang tadinya adalah 6,5 tahun.
Baca Juga: Sosok Filep Karma, Aktifis Papua Jasadnya Tergeletak di Pantai Base G Jayapura
Pada tahun 2004, Filep menggelar aksi yang sama hingga dijatuhkan hukuman 15 tahun penjara, namun dibebaskan pada pada tahun 2015.
Di samping aktivismenya, sosok Filep juga lekat di hati mereka yang sering berinteraksi dengannya secara pribadi.
Kepada ABC Indonesia, beberapa aktivis kemerdekaan Papua yang tinggal di Australia mengatakan masih berat hati melepas kepergiannya.
Mereka dan seorang akademisi Indonesia mencurahkan perasaan dan pandangan tentang Filep.
'Bapak Bangsa Papua Barat'
Ronny Kareni, aktivis dan sarjana diplomasi di Canberra pertama kali bertemu dengan Filep di tahun 2002, saat dirinya masih duduk di bangku SMA.
Baca Juga: Aktivis Papua Filep Karma Ditemukan Meninggal Dunia di Pinggir Pantai
"Beliau waktu itu suaranya sangat concerned isu Papua dan HAM tapi fokus di bagaimana pemuda-pemudi bisa berani untuk melihat isu Papua dengan menggunakan pendidikan, nonviolent resistance [perlawanan tanpa kekerasan]," kenangnya.
Prinsip ini terus dipegang Ronny yang menggunakan kata 'fearless' atau pemberani untuk mendeskripsikan Filep.
"Dia terbuka untuk mendengar masukan dari siapa saja, entah itu dilihat musuh, dari kacamata masyarakat Papua, entah itu dari tentara, maupun polisi, dia terbuka untuk bicara langsung," katanya.
"Dia tidak kenal takut dan berani untuk menyampaikan apa yang dia pikirkan, realita yang ada, tapi dia humble [rendah hati] dan tidak berpihak ke pihak internal juga."
Ronny yang sudah menganggap Filep keluarganya sendiri terakhir berjumpa langsung dengannya di tahun 2014.
Keduanya terus berhubungan jarak jauh melalui telepon atau pun Zoom bila ada acara webinar.
Ia mengaku sempat tidak percaya mendengar kabar meninggalnya Filep dan masih memproses kepergiannya yang menurutnya menimbulkan "perasaan kehilangan besar."
"Sebagai individu, dia juga seorang … father figure [sosok bapak] dalam visi dan aspirasi masyarakat Papua," ujarnya.
"Itu yang membuat para pemuda-pemudi datang untuk menyampaikan ungkapan duka, mengunjungi makamnya sebagai bentuk kehormatan melepas beliau.
"Kami semua melihatnya sebagai Bapak Bangsa Papua Barat."
'Tokoh pemimpin kaliber dunia'
Sementara itu, Veronica Koman, aktivis dan pengacara HAM pro-Papua yang mengenal dekat Filep semasa hidup mendeskripsikannya dari kacamata seorang teman dekat.
"Kalau misalnya pernah ketemu Pak Filep, orangnya itu sangat ramah, hangat, terbuka untuk dialog, diskusi dan juga sangat generous [dermawan] dengan ilmunya," ujar Veronica.
"Orangnya juga humoris dan santai."
Veronica pertama kali berjumpa dengan Filep waktu mengunjunginya di penjara pada tahun 2015.
Ketika sudah bebas, mereka sering bertemu di Jakarta maupun Jayapura.
Veronica memandang Filep sebagai seorang "guru dan mentor yang sangat rendah hati."
"Beliau bisa dibilang pemimpin Papua yang paling humble yang saya kenal dan tipe pemimpin yang tidak mencari kehormatan maupun posisi, tapi posisi pemimpin itu datang kepadanya," katanya.
Di mata Veronica, Filep juga adalah sosok yang membangun fondasi berpikir dan caranya memandang Papua sebagai orang Indonesia.
Ia mengatakan Filep selalu mengajarnya dengan sabar, namun tegas.
"Dari filosofi berpikirnya, menurut saya Pak Filep itu tokoh pemimpin kaliber dunia, bukan sekedar Papua," ujarnya.
"Pak Filep ini yang mempopulerkan bahwa yang harus kita perangi dan benci itu adalah sistem kolonialisme Indonesia, bukan rakyatnya. Dan itu luar biasa."
Karena hubungan pertemanan yang erat ini, berita kepergian Filep bukanlah hal yang mudah diterima Veronica.
"Foto dan video Pak Filep yang meninggal di pantai itu sejauh advokasi Papua saya merupakan foto tersulit yang pernah saya encounter dan teliti. Itu setengah mati," katanya.
Konsisten, menurut akademisi
Sementara itu, dari sudut pandang intelektual peneliti isu Papua di Indonesia Dr Adriana Elisabeth, Filep Karma adalah seseorang yang konsisten.
Menurutnya, Filep terus berpegang pada satu pemikiran, yang semuanya dinyatakan "dengan cara yang tidak provokatif."
"Dia melihat tidak ada harapan ketika Papua berada di Indonesia. Itu selalu kalimat-kalimatnya," kata Dr Adriana.
"Esensinya bahwa tidak ada solusi untuk Papua selama ini kecuali Papua berdiri sendiri."
Dr Adriana memperkuat pernyataannya dengan menuturkan fakta bahwa Filep masih memiliki pandangan yang sama bahkan setelah dipenjara selama 11 tahun.
"Kan mungkin kalau orang dipenjara itu kan diharapkan ada efek jera, ternyata kan beliau tidak, selain juga beliau bilang 'saya tidak merasa bersalah', seperti itu," katanya.
"Jadi artinya ada prinsip yang sangat sulit untuk diubah dari pemahaman beliau tentang kondisi di Papua.
"Dan pernah juga di penjara misalnya dia tidak mau diberikan grasi atau amnesti, karena kalau dia menerima itu dia merasa memang melakukan kesalahan, sementara dia merasa yang dia lakukan itu benar."
Filep Karma dimakamkan pada Rabu malam (02/11) di Expo Waena, Distrik Heram, Jayapura.
Pemakamannya dihadiri ribuan orang yang menyanyikan lagu "Hidup Ini Suatu Misteri" yang dikarang Arnold C Ap.