Diberi Gelar Pahlawan Nasional, Ini Jasa dan Akhir Tragis dr Rubini Natawisastra

Senin, 07 November 2022 | 11:38 WIB
Diberi Gelar Pahlawan Nasional, Ini Jasa dan Akhir Tragis dr Rubini Natawisastra
Dokter Rubini Natawisastra. [ANTARA]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Dokter Rubini Natawisastra diberi gelar pahlawan nasional atas jasa-jasanya bagi bangsa Indonesia. Hal ini disampaikan oleh Ketua Umum Kongres Wanita Indonesia (Kowani) Dr Giwo Rubianto Wiyogo.

Ia menyampaikan bahwa pemerintah telah menyetujui dan memberi gelar pahlawan nasional kepada sosok Rubini Natawisastra. Persetujuan pemberian gelar itu juga telah diumumkan oleh Menko Polhukam Mahfud MD.

“Akhirnya permohonan keluarga ahli waris Rubini Natawisastra melalui Kowani untuk mengusulkan dr. Rubini Natawisastra sebagai pahlawan nasional disetujui oleh Pemerintah Indonesia dan diumumkan Menko Polhukam Prof Dr. Machfud MD selaku Ketua Dewan Gelar, Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan pada tanggal 03 November 2022 lalu,” kata Giwo di Jakarta, Senin (7/11/2022).

Diketahui, dokter Rubini merupakan seorang menak atau bangsawan Sunda. Anak dari pasangan Ni Raden Endung Lengkamirah dan Raden Natawisastra ini lahir di Bandung pada 31 Agustus 1906.

Baca Juga: Tanggal 10 November Hari Apa, Libur atau Tidak? Simak Penjelasannya

Rubini kemudian ditugaskan sebagai dokter pemerintah di Rumah Sakit Militer di Pontianak, Kalimantan Barat pada 1934. 

Setelah bertugas di rumah sakit pemerintah, Rubini juga ditugaskan di rumah sakit swasta milik Misi Katolik (Rooms Katholieke Ziekenhuis), yakni Rumah Sakit Sungai Jawi. Sekarang, rumah sakit tersebut bernama Rumah Sakit Santo Antonius. 

Semasa hidup, dokter Rubini tidak hanya fokus bekerja di rumah sakit swasta. Beliau juga membuka praktek di rumahnya untuk membantu masyarakat yang membutuhkan bantuan pelayanan kesehatan dan pengobatan.

Bahkan, tak jarang dokter Rubini sering melayani masyarakat yang miskin sampai menyusuri bantaran Sungai Kapuas. Dedikasi pelayanan kesehatan yang diberikannya itu tak pernah memandang perbedaan strata sosial, suku, agama dan gender.

Sejarah mencatat jika Dokter Rubini juga kerap menolong banyak perempuan dan anak-anak korban kekerasan yang dilakukan oleh tentara pendudukan Jepang. Ia dengan telaten mengobati mereka yang membutuhkan di tengah situasi penjajahan.

Baca Juga: Apakah Tanggal 10 November 2022 Tanggal Merah? Cek Aturan SKB 3 Menteri Terbaru

Dokter Rubini tidak hanya fokus bertugas menjalani tugas sebagai tenaga kesehatan. Ia juga secara aktif bergabung dalam organisasi kemasyarakatan berhaluan politik Partai Indonesia Raya.

Partai tersebut diketahui memiliki landasan nasionalisme dan menentang penjajahan, serta menuntut kemerdekaan Kalimantan Barat menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dalam bekerja, Rubini juga mendapatkan dukungan dari istrinya, yakni nyonya Amalia Rubini. Perempuan itu ikut membantu pekerjaan mulia suaminya sebagai tenaga kesehatan dan orang yang sedang berjuang menentang penjajahan Jepang untuk kemerdekaan NKRI.

Nyonya Amalia dikenal aktif di gerakan Palang Merah dan juga Ketua Perkumpulan Istri Indonesia (PII) cabang Pontianak.

Sebagai informasi, PII merupakan salah satu anggota dari Perserikatan Perkumpulan Istri Indonesia (PPII) yang tahun 1935, dan berganti nama Kongres Perempuan Indonesia dan tahun 1946 menjadi Kowani.

Situasi di masa itu begitu kelam, khususnya tahun 1944. Saat itu terjadi pembunuhan masal pada rakyat, kaum terdidik dan tokoh masyarakat dari berbagai suku dan ras yang dilakukan tentara Jepang di Kalimantan Barat.

Menurut sejarah, puncaknya terjadi pada tanggal 28 Juni 1944, di mana puluhan ribu orang dibunuh secara kejam dan keji. Mereka yang dibunuh termasuk dokter Rubini dan istri, Amalia Rubini.

Pasangan itu dihabisi secara keji karena dianggap telah melakukan perlawanan terhadap Jepang. Jenazah mereka kemudian dimakamkan di Makam Juang Mandor.

Sejak tahun 2007 sampai sekarang, Pemerintah Daerah Provinsi Kalimantan Barat memperingati tanggal 28 Juni sebagai Hari Berkabung Daerah Kalimantan Barat.

Peringatan itu sebagai bentuk penghormatan dan mengenang kepada mereka yang gugur, dan juga agar peristiwa seperti itu tidak akan pernah terjadi lagi di bumi Indonesia tercinta.

“Bagi Kowani, dr Rubini Natawisastra adalah tokoh pejuang kemerdekaan dan kemanusiaan yang sangat peduli pada kesetaraan gender atau gender equality. Dalam kampanye global dikenal he for she yang dicanangkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa,” jelas Giwo.

Selain dr Rubini, sejumlah nama lain yang mendapatkan gelar pahlawan nasional yakni dr Soeharto, KGPAA Paku Alam VIII, H Salahuddin bin Talibuddin, dan KH Ahmad Sanusi. [ANTARA]

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI