Suara.com - Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mendesak pemerintah segera menghentikan pembahasan Rancangan Peraturan Presiden tentang Percepatan Pelaksanaan Reforma Agraria (RanPerpres RA). Ada delapan pandangan KPA yang menjadi dasar dari desakannya.
RanPerpres RA tersebut dimaksudkan untuk menggantikan Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria (Perpres RA) dan Peraturan Presiden Nomor 88 Tahun 2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan (Perpres 88).
Namun, pembahasan RanPerpres RA disebutkan KPA tidak transparan dan memadai dari sisi proses perumusan serta tidak melibatkan Gerakan Reforma Agraria secara aktif, setara dan substantif.
"Secara keseluruhan, tidak ada pelibatan organisasi masyarakat sipil yang bermakna secara substantif. Proses perumusan dan pembahasan juga mengabaikan sejarah mengapa tuntutan dan urgensi revisi Perpres RA dilayangkan KPA bersama Komite Nasional Pembaruan Agraria (KNPA) kepada Presiden RI," kata Sekretaris Jenderal KPA Dewi Kartika dalam keterangan tertulis, Jumat (4/11/2022).
Baca Juga: Gubernur Sulsel Andi Sudirman Ajak Kementerian Agraria Tertibkan Aset
Pada 31 Oktober 2022 lalu sempat beredar informasi Diskusi Publik membahas RanPerpres RA yang dilaksanakan oleh Kemenko Perekonomian tanggal 1-2 November 2022. Informasi kegiatan tersebut menyebar berselang beredarnya naskah elektronik RanPerpres RA.
Dari penelusuran KPA, draft tersebut baru saja diupload Kemenko Perekonomian di laman resminya pada 26 Oktober 2022. Ironisnya, tidak ada pengundangan yang disampaikan oleh pihak Kemenko kepada KPA meski nama KPA dicantumkan dalam daftar kepesertaan.
"Ini kesekian kali Kantor Staf Presiden dan Kemenko Perekonomian mengabaikan tuntutan proses perumusan kebijakan RA yang memadai (adequate), transparan, dan berhati-hati/seksama (prudent) sesuai dasar-dasar awal urgensi perubahan," terangnya.
Kedua, KPA melihat kalau RanPerpres RA melanggar Putusan Mahkamah Konstitusi dan mengkhianati UUPA 1960.
Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020, UU Cipta Kerja (UUCK) telah dinyatakan inkonstitusional bersyarat, sehingga pemerintah tidak diperbolehkan membuat produk regulasi baru turunan UUCK, apalagi yang menyangkut program prioritas nasional.
Baca Juga: Selesaikan Persoalan Agraria, Ganjar Minta Pendataan Sertifikasi Tanah Dipercepat
"Dengan menjadikan UUCK sebagai dasar pertimbangan (konsideran) utama, maka Tim Perumus tidak saja melanggar Putusan MK, tetapi juga kembali memanipulasi dasar-dasar urgensi perbaikan Perpres RA yang dituntut Gerakan Reforma Agraria," jelasnya.
Ketiga, KPA melihat RanPerpres menghilangkan 7 tujuan RA sebagai bagian terpenting dan fundamental dalam Perpres Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria.
Akibatnya, rancangan yang disusun pemerintah justru mengaburkan bahkan kembali menyesatkan tujuan RA di Indonesia. Tanpa ketegasan tujuan yang hendak dicapai, maka semakin mudah RA ditafsirkan dan diselewengkan seperti yang sudah-sudah.
Padahal revisi Perpres RA dituntut untuk memperbaiki kebijakan dan memperkuat pelaksanaan RA agar sesuai dengan 7 tujuan RA pada Perpres 86/2018.
Tujuan yang sudah ideal, tidak dilengkapi dengan kelembagaan, tata cara bekerja dan terobosan hukum untuk mengakselerasi, sehingga praktiknya selalu disempitkan kembali menjadi sekedar bagi-bagi sertifikat tanah (non-konflik, non-ketimpangan, non-pemulihan hak).
Keempat, TORA bersumber dari Bank Tanah adalah bentuk penyimpangan Reforma Agraria oleh UU Cipta Kerja dan RanPerpres. Menyamakan proses RA sebagai bagian dari proses pengadaan tanah untuk kelompok investor/badan usaha besar adalah kesesatan yang dilakukan UU Cipta Kerja, dan sekarang hendak diadopsi oleh RanPerpres RA. Ini akibat lanjutan UUCK menjadi pertimbangan RanPerpres, dan bukan UUPA.
Kelima, KPA juga melihat tidak ada perubahan kelembagaan Pelaksana RA. Dewi mengungkapkan kalau makna utama revisi ialah menyadari masalah agraria itu kronis dan bersifat lintas sektor, sehingga secara kelembagaan pun pelaksanaan RA harus dipimpin oleh Presiden.
Kepemimpinan TRAN yang lampau terbukti tidak mampu menjalankan RA sesuai tujuan-tujuannya, sehingga membuat rakyat yang sejak lama menginginkan RA dijalankan secara sistematis di Indonesia, kembali dibenturkan pada urusan-urusan ego-sektoral kementerian/lembaga, saling unjuk kesalahan, tetapi minus terobosan.
"RanPerpres justru kembali ke pola lama di mana kepemimpinan lembaganya hanya setingkat Menteri/Menko, lantas apa makna revisi ini?," tanya Dewi.
Keenam, KPA menilai kalau Reforma Agraria atas konflik agraria BUMN (PTPN/Perhutani) masih seperempat hati. Menurut Dewi, belum ada terobosan hukum yang dirancang secara sungguh-sungguh untuk menuntaskan konflik agraria akut antara masyarakat dengan perusahaan BUMN, baik PTPN maupun Perhutani/Inhutani.
"Selama ini BUMN/PTPN, KSP, Kementerian ATR selalu berputar di alasan-alasan kesulitan penghapusbukuan atas aset atau aktiva tetap BUMN, alasan 30 persen tutupan hutan dan sebagainya," terangnya.
Sementara itu, yang terakhir, KPA melihat RanPerpres melanjutkan kesalahan Perpres 86/2018, yang menjadikan kegiatan sertifikasi tanah sebagai RA. Sertifikasi tanah biasa (non-reform) adalah kegiatan administrasi pertanahan bagi masyarakat yang bertanah dan belum diadministrasikan hak atas tanahnya oleh BPN.
Jadi sertifikasi tanah bukan lah upaya koreksi atas struktur agraria yang timpang bagi orang tak bertanah dan berkonflik (petani gurem, buruh tani, rakyat miskin tak bertanah), bukan pula pemulihan hak korban perampasan tanah yang dimaksudkan oleh agenda RA. Legalisasi aset yang kemudian diterjemahkan menjadi kegiatan PTSL tidak bisa serta merta disebut RA.
"Penguatan hak (pensertifikatan) hanya tahap akhir atau pelengkap pasca penataan-ulang (reform), redistribusi tanah dan penyelesaian konflik," terangnya.
Atas delapan sikap dan pandangan itu, KPA menyampaikan dua desakan kepada pemerintah, yakni:
1. KPA mendesak Pemerintah untuk segera menghentikan pembahasan RanPerpres Percepatan RA yang inkonstitusional. Perbaikan Perpres RA harus kembali berpedoman pada UUD 1945 dan UUPA 1960 sebagai hukum agraria nasional tertinggi, bukan pada UU Cipta Kerja yang telah dinyatakan inkonstitusional.
2. Proses perumusan RanPerpres harus taat pada sejarah dan pokok-pokok mendasar dari urgensi perbaikan Perpres RA yang selama ini dituntut dengan memastikan pelibatan Gerakan Reforma Agraria secara aktif, setara, dan substantial. Sekaligus menjamin transparansi proses perumusan yang diselenggarakan oleh Kemenko Perekonomian, KSP, Kementerian ATR/BPN, KLHK, Kementerian BUMN, Kemendagri, Kementerian Desa dan K/L lainnya, termasuk POLRI dan TNI.