Nurcahyo juga mengatakan keterlambatan Cruise Thrust Split Monitor (CSTM) memutus auto-throttle pada saat pesawat terjadi asimetri menjadi penyebab kecelakaan tak bisa dihindari.
Oleh sebab itu, flight spoiler memberikan angka lebih rendah di mana berakibat pada asimetri yang semakin besar. Adapun asimetri merupakan penerbangan pesawat bermesin ganda usai kehilangan daya dari salah satu mesin yang dipasang secara lateral di kedua sisi tengah.
Sementara auto-throttle sendiri merupakan sistem pengatur gas yang memberikan kemungkinan pada pilot untuk menentukan kecepatan dan dorongan pesawat secara otomatis.
"Setelah terjadi asimetri, harusnya CTSM bisa menonaktifkan auto-throttle. Namun demikian, terjadi keterlambatan CTSM pada auto-throttle sehingga asimetri menjadi terlebih dan pesawat menjadi belok ke kiri," kata Nurcahyo.
"Terlebih keterlambatan CTSM ini kami yakini karena informasi sudut dari flight spoiler lebih rendah dari yang sesungguhnya sehingga aktivasinya terlambat,” sambungnya.
Ada Complacency hingga Pilot Tak Sadar
Selanjutnya, Nurcahyo menambahkan jika ada complacency atau rasa percaya terhadap sistem automatisasi dan confirmation bias yang berujung berkurangnya monitor oleh pilot terhadap instrumen di pesawat. Dengan begitu, pilot tidak menyadari ada penyimpangan penerbangan.
"Ada complacency terhadap kepada sistem automatisasi dan confirmation bias adanya informasi yang mendukung opini, telah berakibat dikuranginya monitor pada instrumen sehingga tidak disadari terjadi asimetri dan terjadi penyimpangan penerbangan,” jelas Nurcahyo.
Belum Ada Panduan UPRT
Baca Juga: Akhirnya Terungkap, KNKT Beberkan Enam Penyebab Kecelakaan Pesawat Sriwijaya Air SJ182
Nurcahyo menjelaskan jika kecelakaan itu tidak lepas dari belum adanya aturan panduan upset prevention and recovery training (UPRT) yang mempengaruhi proses pelatihan oleh maskapai terhadap pilot.