Suara.com - Kementerian Luar Negeri (Kemlu) mengungkapkan ada dua Warga Negara Indonesia (WNI) yang menjadi korban saat perayaan Halloween di Itaewon, Korea Selatan. Perayaan halloween itu menelan korban hingga 153 orang meninggal dunia.
Direktur Perlindungan WNI dan BHI Kementerian Luar Negeri (Kemlu) RI Judha Nugraha mengungkapkan dua WNI itu mengalami luka-luka atas insiden yang terjadi pada akhir Oktober 2022.
"Terkait dengan tragedi di distrik Itaewon, Seoul, Korea Selatan yang terjadi pada tanggal 29 Oktober yang lalu, KBRI Seoul telah melakukan koordinasi dengan otoritas setempat."
"Sebagaimana kami sampaikan bahwa dari total jumlah korban yang ada baik yang meninggal maupun luka-luka ada 2 WNI kita yang mengalami jadi korban, dalam hal ini adalah korban luka-luka," kata Judha dalam konferensi pers secara virtual, Kamis (3/11/2022).
Baca Juga: Pelajaran Berharga dari Tragedi Itaewon dan Berdendang Bergoyang, Yoyok Sukawi Ingatkan Soal CHSE
Dua WNI itu, dikatakan Judha, sudah ke luar dari rumah sakit. Adapun kesehatan keduanya sudah dinyatakan pulih.
"Dua orang tersebut telah dalam keadaan baik dan telah keluar dari rumah sakit," ucapnya.
Sejauh ini, Judha mengungkapkan KBRI juga terus berkoordinasi dengan otoritas setempat mengenai tragedi Itaewon.
"Namun saat ini tidak ada informasi tambahan. Status terakhir adalah 2 WNI yang terdampak luka dan kondisinya sudah sehat."
Kesaksian Mengerikan Tragedi Itaewon
Baca Juga: Belajar dari Tragedi Itaewon, Ini 10 Tips Hindari "Crowd Quake" yang Mematikan Saat Ada Kerumunan
Saksi mata tragedi Itaewon mengungkap detik-detik massa saling dorong sebelum akhirnya massa tumpang tindih dan menimbulkan korban meninggal dunia. Apa ceritanya?
Pada 29 Oktober 2022, kerumunan massa di gang sempit di sebelah landmark Hotel Hamilton menyebabkan kematian sedikitnya 153 orang. Gelombang kerumunan adalah penyebab di mana banyak orang meninggal dunia. Ini adalah kondisi di mana ketika sejumlah besar orang mencoba pindah ke ruang yang relatif kecil sekaligus, persis seperti yang terjadi di Itaewon.
Dilansir Koreaboo, menurut para penyintas dan saksi, alasan terjadinya lonjakan massa adalah "dorongan paksa", terlebih kondisi gang kecil itu cenderung miring.
Kabarnya, orang-orang yang berada di puncak gang mulai mendorong ke bawah, tidak menyadari bahwa mereka yang berada di bawah akhirnya berjatuhan. YouTuber Seon Ye Jung mengenang pengalamannya terjebak di tengah keramaian dan diselamatkan oleh temannya.
"Di belakang saya, orang-orang meneriakkan hal-hal seperti 'Dorong! Kita lebih kuat! Kita bisa memenangkan ini, haha!’ dan mulai mendorong. Beberapa dari kami mencoba membuat orang banyak mengikuti lalu lintas kanan lagi, tetapi tidak ada gunanya," ujarnya.
"Sejujurnya saya didorong dan didorong melawan keinginan saya. Kemudian, tiba-tiba, kekacauan terjadi dan semua orang mulai saling dorong dengan agresif—seperti tarik tambang. Tidak butuh waktu lama sebelum saya mulai merasakan kekuatan orang-orang yang mendorong. Penglihatan mulai memudar," ungkap dia lagi.
"Teman saya, yang ada di sana bersama saya, lebih kuat dari saya. Jadi mereka berpegangan pada saya dan membantu saya menahan kekuatan. Seandainya saya tidak bersama teman saya, saya akan benar-benar jatuh," lanjut YouTuber tersebut.
Tapi apa yang bisa menyebabkan 153 orang meninggal setelah jatuh di sebuah gang? Dalam kasus seperti itu, hampir tidak mungkin bagi mereka yang jatuh untuk melarikan diri dan akhirnya mereka terinjak-injak dengan yang lain.
Padahal, menurut para ahli, penyebab utama kematian dalam keramaian sebenarnya adalah mati lemas. Menurut Steve Allen, seorang konsultan di Crowd Safety, kesalahan yang terjadi adalah ketika kerumunan runtuh dan orang-orang di belakang mereka naik ke atas orang-orang di depan mereka yang sudah jatuh horizontal.
"Orang-orang ditekan bersama-sama begitu erat sehingga menjadi tidak mungkin untuk bernapas. Bahkan, tekanan yang diberikan dikabarkan bisa membengkokkan baja. Dalam beberapa kasus, orang pingsan dan bahkan mati saat masih berdiri, tubuh mereka ditahan oleh kerumunan orang," pungkasnya.
Ia juga berbicara pada kasus lonjakan kerumunan tragis yang terjadi di konser Astroworld pada tahun 2021, G. Keith Still, profesor ilmu kerumunan di University of Suffolk di Inggris, menjelaskan apa yang terjadi ketika seseorang secara fatal terjebak dalam lonjakan kerumunan.
"Dibutuhkan 30 detik sebelum Anda kehilangan kesadaran, dan sekitar enam menit, Anda mengalami asfiksia kompresif atau restriktif. Itu umumnya penyebab kematian yang dikaitkan - tidak hancur, tetapi mati lemas," jelas G. Keith Still.
Selain tak sengaja menginjak-injak, para ahli telah menyimpulkan bahwa penyebab utama kematian dalam lonjakan massa adalah sesak napas, yaitu ketika tubuh kekurangan oksigen. Di lokasi tragedi Itaewon, orang menderita mati lemas dan serangan jantung, yang pada akhirnya menyebabkan sebagian besar korban.
Ada banyak elemen yang akhirnya menambah hasil tragis di Itaewon, termasuk pencabutan mandat jarak sosial dan kurangnya kontrol massa. Saat pihak berwenang menyelidiki insiden tersebut, Korea Selatan berharap untuk melihat langkah-langkah keamanan yang lebih kuat diterapkan ke depan.