Suara.com - Perombakan kepemimpinan KPK yang dilakukan oleh Presiden Jokowi menghasilkan keputusan baru untuk mengangkat Johanis Tanak sebagai wakil ketua KPK yang baru. Belum genap 1 minggu dirinya dilantik, Johanis pun kini diserang banyak orang usai pernyataannya tentang rencana perancangan Undang-Undang restorative justice kepada para koruptor. Menurut Johanis, hal ini perlu dipertimbangkan lagi.
“Itu kan cuma opini (saya), bukan aturan tapi pandangan sebagai akademisi tentunya bisa saja, tapi bagaimana realisasinya, tentunya nanti lihat aturan" ungkap jaksa ini.
Restorative justice sendiri sebelumnya memang sudah berlaku di Indonesia, namun belum diterapkan untuk kasus korupsi karena masih tergolong dalam kasus luar biasa sehingga hukuman berat masih menanti para koruptor.
Hal ini berkaitan erat dengan tingginya kasus korupsi di Indonesia dan menyebabkan banyak lapas atau rumah tahanan yang diungkap oleh Wamenkumham, Edward Omar yang mengungkap bahwa tempat penahanan para koruptor kini sudah terlalu penuh.
Baca Juga: Mahfud MD: Restorative Justice Itu Tidak Sembarangan
Lalu, apa sebenarnya restorative justice itu sendiri?
Restorative justice adalah suatu pengaturan untuk mengatasi konflik atau kejahatan dengan penyelesaian yang memungkinkan orang yang menyebabkan kerugian, orang-orang yang terkena dampak kerugian, dan masyarakat lainnya untuk memilih jalan berdamai dan menciptakan solusi yang berarti.
Tak hanya itu, restorative justice ini juga mempertimbangkan banyak hal, termasuk saksi dari pihak tersangka untuk bisa memberikan kesaksian dan meringankan hukuman kepada tersangka. Selama ini, pengaturan restorative justice diberlakukan dalam tindak pidana yang ringan dengan hukuman pidana penjara paling lama tiga bulan dan denda Rp 2.500.000 (Pasal 364, 373, 379, 384, 407, dan 482).
Penerapan restorative justice ini juga dilandasi oleh beberapa kebijakan yang dikeluarkan oleh lembaga berwenang, seperti Kejaksaan Agung.
Untuk menanggulangi kasus yang tidak memiliki pedoman penerapan restorative justice, Kejaksaan Agung pun menerbitkan kebijakan mengenai keadilan restoratif melalui Peraturan Jaksa Agung (PERJA) Nomor 15 Tahun 2020 tentang Tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.
Baca Juga: Kuasa Hukum Dito Mahendra Sebut Nikita Mirzani Bakal Sulit Peroleh Restorative Justice
Beberapa pihak lainnya seperti Polri juga menerapkan restorative justice di dalam beberapa sektor mereka, seperti pelanggaran UU ITE yang rentan menjadi laporan masyarakat dalam penggunaan media sosial seperti adanya ujaran kebencian atau kasus bullying.
Dalam hal ini, Kapolri Listyo Sigit Prabowo pun menekankan agar UU ITE dapat mengedepankan restorative justice demi penyelesaian masalah yang lebih damai.
Negara lain seperti Kanada pun telah menerapkan restorative justice untuk berbagai kasus pidana yang terjadi di negaranya. Hingga kini, wacana restorative justice ini masih menjadi kajian lembaga terkait untuk bisa diimplementasikan dalam kasus kasus tertentu.
Kontributor : Dea Nabila