Suara.com - Para penyintas Tragedi Halloween di Seoul menuturkan pengalaman horor mereka saat menyaksikan teman-teman dan orang asing mati lemas di sebuah gang selagi musik riang menggelegar pada malam hari.
Sedikitnya 153 orang tewas ketika kerumunan memadati Distrik Itaewon di ibu kota Korea Selatan.
"Orang-orang mulai mendorong dari belakang, seperti ombak - tidak ada yang bisa Anda lakukan," kata Nuhyil Ahammed kepada BBC.
"Saya tidak bisa tidur tadi malam. Saya masih bisa melihat orang-orang sekarat di depan saya."
Baca Juga: Pasca Tragedi Itaewon, Acara BOF 2022 Dibatalkan
Pria berusia 32 tahun ini memaparkan pengalamannya kepada BBC pada Minggu (30/10) sore. Dia mengaku terjebak dalam kerumunan dan tidak ada yang bisa dilakukan untuk menyelamatkan diri sendiri apalagi orang lain.
Sejumlah rekaman video menyedihkan dari acara tersebut telah menyebar di media sosial. Ahammed sendiri membagikan pengalaman traumatisnya di Instagram.
Rekaman itu menunjukkan kerumunan manusia, kebanyakan remaja dan berusia 20-an tahun, berjejalan di gang sempit yang miring sehingga mereka tidak bisa bergerak. Mereka kemudian mulai terdorong ke segala arah. Beberapa terseret ke tanah. Yang lain tidak bisa bernapas.
Baca juga:
- 'Jeritan penuh kesedihan terdengar' - Tragedi Halloween di Itaewon, Korsel: setidaknya 154 orang meninggal akibat berdesakan
- Galeri foto: Gang sempit, lokasi 'jebakan maut' Tragedi Halloween di Distrik Itaewon, Seoul
Itaewon adalah salah satu lingkungan paling populer di Seoul untuk hiburan malam. Penduduk Seoul dan turis asing berduyun-duyun ke sana setiap akhir pekan, tetapi Halloween adalah salah satu malam tersibuk sepanjang tahun. Daerah itu menjadi tuan rumah perayaan Halloween pertama sejak Covid melanda pada 2020.
Diperkirakan 100.000 orang datang untuk berpesta pada hari Sabtu (29/10). Untuk pertama kalinya sejak Covid, jumlah orang yang berkumpul tidak dibatasi dan pengunjung tidak perlu memakai masker di luar ruangan.
Namun Menteri Dalam Negeri Korea Selatan, Lee Sang-min, mengatakan para pejabat tidak mengantisipasi kerumunan seperti itu di jalan-jalan sempit Itaewon.
"Perkiraan jumlah kerumunan di Itaewon tidak jauh berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, jadi saya mengerti bahwa personel yang dikerahkan berjumlah sama seperti sebelumnya."
Dia mengatakan banyak petugas telah dikerahkan ke tempat lain di ibu kota pada Sabtu malam.
"Saya tidak tahu pasti jumlah personel polisi yang dikerahkan [ke Itaewon] tetapi sejumlah besar telah dikerahkan di Gwanghwamun, tempat kerumunan besar diperkirakan akan melakukan protes," katanya dalam sebuah pemaparan.
Sedikitnya 82 orang juga terluka dalam tragedi tersebut. Lee mengatakan beberapa korban tetap belum teridentifikasi karena mereka berusia di bawah 17 tahun atau tidak memiliki KTP dewasa.
Presiden Yoon Suk-yeol telah menyerukan penyelidikan atas penyebab tragedi itu dan menyatakan masa berkabung nasional.
Ahammed, seorang pekerja IT dari India yang tinggal di Seoul, mengatakan dia telah menghadiri pesta Halloween di Itaewon selama lima tahun terakhir.
Menurutnya, tahun lalu ada lebih banyak polisi di daerah itu, tetapi tahun ini jumlah kerumunan jauh melebihi yang dia saksikan sebelumnya. Meski demikian, dia mengatakan "tidak ada pengendalian massa".
Ahammed ada di antara kerumunan bersama teman-temannya. Dia tidak ingat mengapa mereka ingin memasuki gang itu. Yang jelas tempat tersebut adalah tempat nongkrong populer bagi para pengunjung yang mengenakan kostum.
Tapi begitu mereka terjebak dalam kerumunan, dia menyadari ada yang tidak beres.
"Bahkan jika Anda berdiri diam, seseorang mendorong Anda dari depan dan seseorang dari belakang. Itu terjadi beberapa kali. Saya menyadari ada sesuatu yang salah. Saya merasa takut akan terjadi sesuatu."
Dia sempat jatuh tetapi berhasil berjalan ke tangga di sisi gang: "Seorang wanita dengan sayap malaikat - dia memberi isyarat kepada saya dan saya berhasil naik ke anak tangga yang tinggi," katanya.
"Orang-orang tercekik, berteriak... tergencet... jatuh... terlalu banyak orang.
"Saya berada di tangga hanya bisa menyaksikan semua yang terjadi. Mereka tidak tahu apa yang harus dilakukan dan tidak ada yang bisa kita lakukan."
Dia mengatakan dirinya merasa tidak berdaya ketika dia melihat orang-orang mengembuskan napas terakhir mereka. Dia khawatir kondisi teman-temannya dan dia mencoba menelepon mereka tetapi mereka tidak menjawab. Beberapa jam kemudian dia mengetahui bahwa mereka telah berhasil lolos dari kerumunan.
Ahammed tidak sepenuhnya menyadari apa yang terjadi sampai kerumunan bubar dan ambulans tiba. "Mereka mulai menarik mayat dari bawah," katanya. "Satu orang, dia tahu temannya sudah meninggal tetapi dia terus memberinya CPR selama 30 menit."
Teman lain mencoba menghentikannya, kenang Ahammed, tetapi pemuda itu tidak mau berhenti.
Di samping mereka, lanjutnya, beberapa orang masih merias wajah seperti tidak terjadi apa-apa.
Perlahan-lahan skala bencana itu terungkap dengan sendirinya. Ambulans begitu penuh dengan orang-orang terluka yang perlu dibawa ke rumah sakit sehingga mereka meninggalkan sejumlah jenazah hingga satu jam.
Kemudian di malam hari, sejumlah jenazah yang masih berbalut kostum Halloween, dijajarkan di sepanjang jalan dengan ditutupi selimut biru.
Anggota masyarakat bersama ratusan petugas darurat yang dikirim dari berbagai wilayah berupaya memberikan CPR kepada mereka yang terbaring tak sadarkan diri.
Pada Minggu (30/10) pagi, kerabat dan teman dari orang-orang hilang muncul di tempat kejadian mencari petunjuk untuk mengetahui apakah orang yang mereka cintai ada di sana. Namun semua jenazah telah dipindahkan dari jalan ke gimnasium, agar anggota keluarga dapat mengidentifikasi mereka.
Balai warga adalah tempat yang dilingkupi kedukaan pada hari Minggu (30/10). Para kerabat datang untuk mencari tahu apakah orang yang mereka cintai termasuk di antara korban tewas.
Beberapa pingsan ketika diberitahu bahwa belum ada informasi. Yang lain dikawal keluar karena mereka terlalu patah arang dan terlalu lemah untuk berjalan.
Seorang wanita, saat mencari putranya yang berusia 22 tahun, sangat putus asa sehingga dia hampir tidak bisa berbicara. Dia bilang putranya pergi bekerja di klub malam di Itaewon dan dia tidak mendengar kabar dari putranya sejak itu.
Altar untuk para korban direncanakan akan dipasang di berbagai tempat di ibu kota.
Perhatian pasti akan beralih ke standar keselamatan dan tindakan pengendalian massa yang diterapkan pada malam itu. Tapi untuk saat ini, Korea Selatan berduka atas kematian begitu banyak anak mudanya.
Reportase tambahan oleh Won Jung Bae dan Hosu Lee