Suara.com - Polisi tengah menyelidiki kasus kekerasan terhadap seorang pekerja rumah tangga (PRT) bernama Riski Nur Askia. Kekerasan terhadap korban dilakukan oleh majikannya, yakni Ajeng Adelita dan suaminya, Riki.
Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Endra Zulpan mengatakan, saat ini pihaknya masih menunggu hasil visum korban.
Tujuannya, untuk menentukan tindak lanjut penyelidikan kasus kekerasan terhadap PRT tersebut.
"Masih kami dalami dan masih menunggu hasil visum," kata Zulpan kepada wartawan, Sabtu (29/10/2022).
Baca Juga: Polisi Usut Anggotanya yang Diduga Pukul Spion Mobil Saat Razia Parkir Liar di Kebayoran Baru
Sebelumnya, Koordinator Nasional Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT), Lita Anggaraini mengatakan, diduga majikan perempuan PRT Riski merupakan aparatur sipil negara (ASN).
"Majikannya yang perempuan ASN, rumahnya di Pondok Kelapa, kalau suaminya enggak bekerja," kata Lita dalam sebuah konferensi pers virtual, Rabu (26/10/2022).
Hal tersebut diyakini Lita sebab saat menyambangi rumah tempat Rizki bekerja, Ajeng tampak mengenakan seragam cokelat seperti layaknya ASN.
Akan tetapi, ia belum bisa mendapatkan secara detail di mana Ajeng bekerja.
"Pada saat kami mencari tempat Riski ini bekerja, kami menemui majikannya yang menggunakan seragam cokelat-cokelat. Dia punya anak 3 di rumah itu," ucapnya.
Mengadu ke KSP
Korban sempat mengadukan perbuatan majikannya ke Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko pada Selasa (25/10/2022) lalu.
Riski datang didampingi pamannya Ceceng, dan aktivis dari Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT). Ia ditemui oleh Moeldoko, Deputi II Abetnego Tarigan, dan Tenaga Ahli Utama dr. Noch T. Mallisa.
Kepada Moeldoko, Riski mengaku menjadi korban kekerasan oleh majikannya berupa penyiksaan secara fisik maupun psikis. Seperti pemukulan, disiram dengan air cabai, hingga kekerasan verbal berupa ancaman-ancaman.
Tak cukup sampai di situ, remaja putri berusia 18 tahun itu juga mengaku, tidak mendapatkan hak penuh atas pekerjaan yang sudah dia lakukan. Di mana, gaji yang dijanjikan senilai Rp 1,8 juta per bulan, selalu dipotong oleh majikan setiap dirinya melakukan kesalahan.
"Satu bulan saya digaji Rp 1,8 juta. Tapi selalu dipotong kalau saya melakukan kesalahan. Enam bulan kerja, saya hanya bisa bawa pulang uang Rp 2,7 juta saja bapak," ucap Riski, lirih kepada Moeldoko.
Riski pun menceritakan awal mula bekerja sebagai PRT. Ia mengatakan, pekerjaan tersebut ditawarkan oleh tetangganya, yang kemudian difasilitasi oleh sebuah yayasan.
Namun, Riski tidak tahu pasti, apakah yayasan yang menyalurkannya bekerja tersebut resmi atau tidak.
"Prosesnya hanya satu hari. Setelah itu saya diantar di pinggir jalan, dan di situ saya dijemput oleh majikan, begitu aja prosesnya," terangnya.
Sementara itu, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko menyampaikan keprihatinannya atas peristiwa yang yang dialami oleh korban.
Dia pun memastikan, Kantor Staf Presiden akan mendalami persoalan tersebut, dan mencarikan solusi terbaik untuk penanganan kesehatan baik secara fisik maupun psikis.
Panglima TNI 2013-2015 ini juga menegaskan, apa yang dialami oleh Riski akan menjadi pendorong untuk percepatan penyelesaian RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga.
"Saat ini Kantor Staf Presiden bersama stakeholder menyusun RUU PPRT. Dan apa yang dialami oleh ananda Riski ini, akan menjadi endorsement yang kuat untuk semakin semangat menyelesaikan RUU PPRT, supaya tidak ada korban lain," tutur Moeldoko.
Atas rekomendasi Kantor Staf Presiden, Riski mendapat perawatan medis di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD), Gatot Soebroto Jakarta.