Suara.com - Achmad Nur Hidayat, Pakar Kebijakan Publik Narasi Institute, menilai beberapa jabatan strategis di pemerintahan Presiden Joko Widodo yang diisi oleh pejabat tinggi Polri menjadi preseden buruk.
Achmad menyebut kondisi ini bisa menimbulkan kesan bahwa Polri adalah alat untuk mempertahankan kekuasaan.
"Begitu banyak posisi jabatan sipil yang diberikan kepada anggota Polri pada masa pemerintahan Jokowi. Ini sebuah preseden buruk karena institusi Polri akan menjadi alat untuk mempertahankan kekuasaan," kata Achmad kepada Wartaekonomi.co.id --jaringan Suara.com, Kamis (27/10/2022).
Keberadaan pejabat tinggi Polri dalam jabatan strategis pemerintahan ini dinilai bisa mengakibatkan ketidakadilan penegakan hukum.
"Hukum menjadi tebang pilih, hukum dijadikan alat untuk memukul pihak-pihak yang berseberangan dengan kekuasaan. Akhirnya polisi jadi ikut bermain politik," papar Achmad.
Mengambil contoh kasus Ferdy Sambo, Achmad menunjukkan adanya campur tangan petinggi Polri yang terstruktur yang melibatkan banyak polisi.
"Dengan munculnya kasus seperti yang dilakukan Ferdy Sambo, kita bisa melihat bagaimana cengkraman kekuasaan Pati Polri dalam melakukan ketidakadilan secara terstruktur sehingga melibatkan banyak pihak dalam kepolisian," lanjut dia.
Adapun beberapa petinggi Polri yang pernah menjabat posisi strategis di dalam pemerintahan adalah Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian yang tak lain adalah mantan Kapolri.
Lalu di tahun 2020 ada Brigadir Jenderal Adi Deriyan yang mengisi jabatan Staf Khusus bidang Keamanan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.
Baca Juga: Juragan 99 Akan Diperiksa Penyidik Terkait Tragedi Kanjuruhan
Ada pula Irjen Andap Budhi Revianto yang menjabat di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, serta Irjen Reinhard Silitonga yang menduduki jabatan Direktur Jenderal Pemasyarakatan Kemenkumham.
Tiga nama terakhir tercatat sebagai anggota Polri aktif saat itu.