Suara.com - Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) Penny K Lukito menjelaskan ada perbedaan mendasar antara tugas organisasi yang dibawahinnya dengan Kementerian Kesehatan terkait kasus obat sirup mengandung etilen glikol dan dietilen glikol.
Dugaan sementara pemerintah terkait penyebab gagal ginjal akut pada anak adalah adanya kandungan senyawa etilen glikol (EG) dan dietilen (DEG) yang melebihi takaran standar dalam obat dalam bentuk sirup.
Menindaklanjuti hal tersebut, BPOM menelusuri sejumlah obat yang diduga memiliki kandungan EG dan DEG di atas ketentuan yang membahayakan.
Sementara pemerintah, melalui Kementerian Kesehatan, mengeluarkan instruksi kepada sejumlah layanan Kesehatan, termasuk apotek, untuk menghentikan penjualan obat sirop anak.
Baca Juga: Obati Gangguan Ginjal Akut Misterius, Indonesia Dapat Donasi 200 Vial Obat Fomepizole dari Jepang
Sedikitnya ada 102 sampel obat yang diuji BPOM, dan hasilnya 30 merek obat sirup anak dinyatakan aman untuk dikonsumsi.
Beda tanggung jawab BPOM dan Kemenkes
Beberapa waktu lalu, anggota Komisi IX DPR RI Saleh Partaonan Daulay menilai Langkah pemerintah dalam menangani kasus gagal ginjal akut pada anak belum maksimal.
Saleh mengatakan, dalam menangani masalah ini, masih ada saling lempar tanggung jawab antara Kementerian Kesehatan dan BPOM.
Menurut pantaun kami, pemerintah belum bekerja maksimal. Masih saling tunggu, antara Kemenkes dan BPOM belum bersinergi. Malah cenderung ada kesan saling menyalahkan," kata Saleh dalam keterangannya, Senin (24/10/2022).
Baca Juga: Kemenkes Bantah Pernyataan Siti Fadillah yang sebut Gagal Ginjal Karena Long Covid
Namun ternyata tanggung jawab antara Kementerian Kesehatan dan BPOM dalam kasus ini memang berbeda.
Masing-masing memiliki tanggung jawab sendiri dan tidak saling tumpang tindih satu sama lain. Hal tersebut diutarakan oleh Kepala BPOM Penny Lukito dalam konferensi daring yang disiarkan melalui YouTube pada Kamis (27/10/2022).
Menurut dia, dalam hal ini tanggung jawab BPOM adalah meneliti obat-obatan yang diduga mengandung EG dan DEG tinggi, lalu mempublikasikannya pada public.
“Tugas Badan POM adalah menyampaikan pada publik demi keadilan untuk semua pelaku usaha yang memilki produk yang sama dikaitkan dengan kualitasnya,” ujar Penny Lukito.
Ia menambahkan publikasi yang dilakukan oleh BPOM selanjutnya akan menjadi masukan atau referensi untuk Kementerian Kesehatan, agar bisa mengambil kebijakan mengenai obat mana saja yang boleh dijual ke publik dan mana yang tidak boleh.
Kebijakan tersebut lanjut Penny, dituangkan dalam surat edaran yang ditujukan kepada masyarakat, Lembaga Kesehatan dan tenaga Kesehatan.
“Bahwa ini adalah obat-obat yang bisa diperjualbelikan, diresepkan oleh dokter, untuk aspek keamanannya,” jelas Penny.
Disamping itu, BPOM akan terus melakukan pengujian dan pengawasan terhadapobat-obatan, untuk mencegah obatdengankandungan EG dan DEG di atas ketentuan, beredar di masyarakat.
Kontributor : Damayanti Kahyangan