Suara.com - Obat-obat sirup dengan cemaran pelarut melebihi kadar yang mampu ditoleransi tubuh beredar di pasaran tanpa diketahui industri farmasi dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
Bukan suatu yang kebetulan karena kasusnya pernah terjadi di banyak negara.
Kasus gagal ginjal akut pada anak mengalami lonjakan dalam tiga bulan terakhir. Per 24 Oktober, Kementerian Kesehatan melaporkan setidaknya 255 kasusnya tersebar di 26 provinsi Indonesia, dengan jumlah kematian 143 anak.
Kasus ini diduga berkaitan dengan tingginya cemaran dari pelarut obat sirup yang menyebabkan pembentukan kristal tajam di dalam ginjal.
Baca Juga: Dinyatakan Bukan Gagal Ginjal Akut, Satu Lagi Pasien Meninggal Dunia di RSUP Dr Sardjito
Baca Juga:
- Gangguan ginjal akut: BPOM akan proses pidana dua perusahaan farmasi, ahli sebut 'cerita pilu pandemi terulang'
- Gangguan ginjal akut merenggut nyawa dua anak - 'Dia meninggal karena tidak kuat'
- ‘Cuma racun kuat yang bisa buat dia meninggal’ - Cerita orang tua yang kehilangan anaknya karena gagal ginjal
Hampir semua obat jenis sirup mengandung zat pelarut. Zat pelarut digunakan agar sirupnya homogen, tak ada gumpalan. Pelarut obat sirup ini antara lain propilen glikol, polietilen glikol, sorbitol, gilserin/gliserol.
Namun, dalam setiap proses pembuatannya, pelarut ini mengeluarkan zat kimia yang tak diharapkan [cemaran]. Ibaratnya kemunculan asap ketika seseorang memasak seuatu.
Zat cemaran dari pelarut itu adalah etilon glikol (EG), dietilen glikol (DEG) dan etilen glikol butil ether (EGBE). Ketiga zat ini sudah pasti muncul, akan tetapi kadarnya tak boleh melebihi ketentuan.
BPOM menyatakan kadar tiga senyawa ini tak boleh dikonsumsi melebihi 0,5mg per kilogram berat badan per hari karena akan menjadi racun.
Orang yang mengkonsumsi melebihi ketentuan ini berisiko mengalami gangguan ginjal, karena ketiga senyawa tersebut memicu asam oksalat dalam tubuh dan selanjutnya membentuk kristal tajam di dalam ginjal.
Tapi kenyataannya, obat-obat sirup dengan cemaran melampaui ambang batas ini beredar di apotik, puskesmas, rumah sakit, toko-toko, meski telah memiliki stempel BPOM—yang menjelaskan obat ini aman dikonsumsi. Akibatnya ratusan anak meninggal akibat gagal ginjal setelah mengonsumsinya.
Kenapa baru ada sekarang?
Menteri Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin menjawab pertanyaan banyak orang tentang obat sirup yang berubah menjadi racun bagi ratusan anak.
Ia mengatakan tingginya cemaran pelarut obat sirup ini "paling besar penyebabnya dari bahan baku.“
Bahan baku zat pelarut obat sirup yang diimpor dari luar negeri itu diduga menjadi biang masalah.
“Kita sudah ada datanya. Pergeseran dari negara-negara mana impor bahan baku itu terjadi. Tapi nanti saya akan sampaikan pada kesempatan khusus,” kata Menteri Budi, Senin (24/10).
Guru Besar Fakultas Farmasi, Universitas Gadjah Mada, Profesor Zullies Ikawati juga melihat kemungkinan adanya pergeseran sumber bahan baku pelarut obat sirup.
Ketika industri farmasi mengganti sumber bahan baku pelarut dari negara tertentu, kemungkinan hasil akhirnya berubah meski menggunakan proses produksi seperti biasanya.
“Oh kita ambil source-nya [sumbernya] dari India deh, misalnya. Atau [negara] mana gitu, source yang berubah kan bisa saja kualitasnya berubah,“ katanya yang menambahkan ini semua masih perlu penelitian mendalam.
Dalam skandal obat sirup ini, Kemenkes melarang penggunaan 100 obat-obatan sirup. Daftar ini terus diperbarui lewat hasil pemeriksaan ilmiah yang disodorkan perusahaan bahwa produk mereka aman.
Sebelumnya, Menteri Budi menduga racun dalam obat sirup itu muncul saat dibuat di dalam pabrik.
Farmakolog dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Nafrialdi juga melihat ada kemungkinan masalah ini timbul saat proses produksi obat.
“Itu kan kualitas pembuatannya itu. Kualitas pabriknya apakah bisa mengerjakan dengan bersih atau tidak. Quality control-nya, apakah diukur cemaran-cemaran itu. Itu saja kuncinya,” kata Nafrialdi kepada BBC News Indonesia.
Sementara itu, Kepala Pusat Riset Vaksin dan Obat BRIN, Masteria Yunovilsa Putra meyakini setiap industri farmasi memiliki proses pengecekan kualitas produk (Quality Control/QC) dan syarat kualitas (Quality Assurance/QA) yang memadai dengan laboratorium yang mumpuni.
“Industri pasti tidak main-main dengan hal itu,” kata Masteria kepada BBC News Indonesia.
Tapi persoalannya kenapa sampai bisa obat yang beredar justru menjadi racun? Ini yang harus ditelusuri dari sumber bahan bakunya sampai proses produksinya, kata Masteria.
“Kalau bahan baku itu yang digunakan itu impor, kemudian bahan yang digunakan itu sama. Produsennya sama. Industri yang ada di Indonesia. Ya kita cek produsen yang mengimpornya itu,” katanya.
Dari mana bahan zat pelarut obat itu berasal?
Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menyatakan dua bahan pelarut obat sirup diimpor dari luar negeri yaitu propilen glikol dan polietilen glikol.
Plt Direktur Jenderal Industri Kimia, Farmasi, dan Tekstil (IKFT) Kemenperin, Ignatius Warsito kepada media mengatakan kedua bahan baku tambahan ini berasal dari China, India dan Vietnam.
"Info dari pelaku industri ada yang diimpor dari Amerika, Eropa juga,“ katanya Warsito melalui pesan tertulis kepada BBC News Indonesia.
Sementara itu, dua bahan pelarut obat sirup lainnya, yaitu sorbitol serta gliserin sudah diproduksi di dalam negeri dengan kapasitas masing-masing 154.000 ton per tahun, dan gliserin 883.700 ton per tahun.
Secara umum kebutuhan bahan baku obat di Indonesia sangat bergantung pada impor, mencapai 95%. Menurut Kementerian Perindustrian, impor bahan baku obat terbesar berasal dari China (60%), India (30%), dan negara-negara kawasan Eropa (10%).
Berapa semestinya kadar cemaran?
Kadar cemaran pada bahan baku pelarut obat sirup yang diizinkan sebesar 0,1%.
“Kalau kurang dari itu masih layak atau masih aman bisa digunakan,” kata Profesor Zullies Ikawati, Guru Besar Fakultas Farmasi, Universitas Gadjah Mada.
Namun, terdapat kasus unik. Dalam satu penelitian yang masih berjalan terhadap obat sirup yang dicurigai menyebabkan gagal ginjal pada anak ditemukan cemaran bahan bakunya hanya 0,1%.
Akan tetapi, kata Prof Zullies, ketika produknya sudah jadi, nilai cemarannya melebihi ambang batas yang ditentukan yaitu 0,5mg per kilogram per hari.
“Mungkin etilen glikol itu diperoleh juga dari bahan lain dalam formulasi sirup itu. Kan ada sorbitol yang bisa cemaran, nah apakah itu … Apakah dalam proses penyimpanan sirup misalnya ada instabilitas, ada peruraian sehingga kemudian terjadi etilen glikol,” katanya.
Bagaimana memantau standar bahan baku?
Kasus gangguan ginjal akut pada anak sebelumnya terjadi di Gambia di mana 70 anak meninggal setelah mengkonsumsi obat sirup. Badan Kesehatan Dunia (WHO) telah mengaitkan perusahaan obat asal India, Maiden Pharmaceuticals terhadap kematian puluhan anak di Gambia ini.
Kasus gagal ginjal juga bukan insiden baru karena sudah terjadi di banyak negara sebelumnya seperti di Bangladesh (2009), Nigeria (2008), China (2006), Panama (2006), India (1998), India (1998), Haiti (1995), Amerika Serikat (1937). Korbannya mencapai ratusan jiwa, dan diketahui terjadi karena obat yang tercemar Dietilen Glikol (DEG).
Associate Professor di Departemen Kimia, Universiti Putra Malaysia, Profesor Bimo Ario Tejo menengarai kematian gagal ginjal pada anak belakangan ini disebabkan “penggunaan bahan baku sub-standar”.
Menurutnya, pandemi Covid-19 membuat bahan baku pelarut obat ini mengalami kelangkaan di pasaran, sementara permintaannya tinggi. Demi menekan biaya produksi, kata dia, industri farmasi menggunakan bahan baku di bawah standar.
“Hal ini membuka kemungkinan beredarnya bahan baku obat yang tidak sesuai standar untuk memenuhi permintaan pabrik obat. Jadi betul, pandemi menjadi sebab tragedi ini,” tambahnya.
Bimo melanjutkan bahan baku pelarut obat sirup di bawah standar yang berasal dari China atau India bisa masuk ke suatu negara disebabkan pengawasan yang longgar. “Sebagai contoh kasus keracunan obat di Gambia baru-baru ini, sumbernya ada di pabrik obat di India,” katanya.
Kepala Pusat Riset Vaksin dan Obat BRIN, Masteria Yunovilsa Putra ikut menimpali. Menurutnya ada kemungkinan “produsen nakal” mencampur bahan pelarut obat sirup dengan dietilen glikol agar bisa untung banyak. “Tapi di Indonesia saya tidak tahu,” katanya.
Bagaimana pengawasan di Indonesia?
Setiap bahan baku obat, termasuk bahan pelarut yang masuk ke Indonesia wajib memiliki Certificate of Analysis (CoA). CoA adalah dokumen yang menerangkan hasil pemeriksaan ilmiah bahan baku obat.
CoA menjadi dasar keyakinan industri farmasi menggunakan bahan baku obat seperti pelarut dalam produksi mereka karena dianggap aman.
Namun, menurut Prof Zullies, “semestinya industri farmasi itu melakukan ricek, melakukan sendiri, benar nggak sih sebetulnya, speknya [spesifikasinya] itu sesuai dengan tertera dalam COA-nya.”
Dalam kasus gagal ginjal pada anak, kemungkinan industri farmasi kecolongan.
“Nah, tetapi kadang-kadang proses ini butuh waktu juga, butuh biaya. Jadi mungkin ada proses yang… sudah sesuai COA aman menurut di atas kertasnya,” kata Prof Zullies yang menambahkan sejauh ini harus diteliti lagi bahan bakunya.
Sementara itu, seorang mantan pekerja di bagian laboratorium industri farmasi, Mariska – bukan nama sebenarnya – mengatakan sejauh ini belum ada aturan yang rinci mengenai pemeriksaan cemaran dalam produk obat.
“Kalau bahan aktif pasti lebih ketat uji segala macam. Sampai kontaminan pun diuji gitu. Tapi kalau bahan pelarut ini nggak seketat di bahan aktif. Jadi, kalau belum ada [ketentuan] mengharuskan uji EG dan DEG-nya ini,” kata Mariska.
Bahan aktif yang dimaksud adalah zat utama obat seperti parasetamol dan ibuprofen untuk demam, serta dextromethorpan dan gauifenesin untuk batuk.
“Di produk jadi pun nggak ada di tes cemaran ini, kecuali memang ada peraturannya. Kayak bikin kapsul memang ada aturannya, kalau kita bikin kapsul harus diuji cemaran logam berat-nya. Itu diuji, karena sudah ada aturannya,” tambah Mariska.
BBC telah menghubungi sejumlah industri farmasi yang obatnya dilarang beredar di masyarakat, namun belum mendapat respons. Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia juga belum membalas permintaan wawancara dari BBC.
Bagaimana peran BPOM di tengah kasus gagal ginjal anak?
Kepala BPOM, Penny K. Lukito mengakui belum ada standar pengawasan untuk cemaran obat sirup.
“EG dan DEG ini belum ada standar yang ada, untuk menjadi reference kami untuk melakukan pengawasan. Baik itu di pre-market maupun di post-market,” katanya dalam keterangan pers, Senin (24/10).
Akan tetapi ia mengatakan, industri farmasi bertanggung jawab melakukan “studi kajian analisa impuriti [cemaran] sendiri terhadap bahan baku yang mereka beli itu”.
“Itu tanggung jawab mereka,” kata Penny.
Ia juga mengklaim BPOM telah melakukan pengawasan sesuai dengan ketentuan Farmakope Indonesia yang berisi tentang standar memproduksi hingga mengurai bahan-bahan serta khasiat obat yang dilazimkan.
“Tapi pada intinya BPOM sudah melakukan pengawasan seusai dengan aturan yang ada. Tapi dengan melihat kondisi yang ada sekarang memang ada titik-titik yang nantinya harus diadakan, yang tadinya tidak ada, standar harus diperkuat lagi,” jelas Penny.
BPOM juga sedang mendalami dua industri farmasi yang disebut “akan segera melakukan penyidikan untuk menuju pada perkara pidana”. Hasil temuan BPOM kedua industri farmasi - yang belum disebutkan namanya - ini telah mengeluarkan produk dengan cemaran “sangat-sangat tinggi”.
“Tentunya sangat toksik, dan bisa dapat diduga mengakibatkan ginjal akut,” jelas Penny.
Bagaimana pun, BPOM bukanlah pihak yang serta merta terlepas dari tanggung jawab kasus yang menyebabkan ratusan anak meninggal karena gagal ginjal. Anak-anak itu sudah terlanjur minum obat berstempel BPOM-yang menandakan obat tersebut aman dikonsumsi.
Menurut Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Sudaryatmo, langkah surveilans BPOM tidak efektif. “Ini juga kelalaian Badan POM juga,” katanya.