Suara.com - Kamis (20/10/2022) yang bertepatan dengan hari ini menjadi penanda tiga tahun kepemimpinan Rezim Joko Widodo (Jokowi) dan Ma'ruf Amin. Sejumlah catatan buruk institusi Polri selama tiga tahun rezim disampaikan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS).
Pun akhirnya, KontraS menilai selama tiga tahun kepemimpinannya, Jokowi gagal mereformasi Polri. Wakil Koordinator KontraS Rivanlee Anandar mengatakan, parameter tersebut berdasarkan pada semakin maraknya pelanggaran yang dilakukan anggota Polri dalam beberapa waktu belakangan ini.
"Reformasi Kepolisian merupakan agenda yang tak kunjung ditunaikan oleh pemerintahan Presiden Jokowi. Ragam masalah yang muncul pun tidak disikapi secara serius. Padahal tindakan anggota Kepolisian berupa kekerasan dan pelanggaran telah berimplikasi pada kerugian di masyarakat," kata Rivanlee pada konferensi pers, Kamis (20/10/2022).
Tagar #PercumaLaporPolisi yang sempat ramai menjadi satu bentuk kritikan sekaligus menunjukkan kinerja Polri yang mengecewakan masyarkat.
"Hal itu dipantik oleh kasus pencabulan tiga orang anak oleh ayahnya sendiri, di Luwu Timur, Sulawesi Selatan. Kasus tersebut awalnya diangkat oleh Project Multatuli dalam artikel yang berjudul Tiga Anak Saya Diperkosa, Saya Lapor ke Polisi. Polisi Menghentikan Penyidikan," katanya.
Pada saat tagar itu ramai, menurut Rivanlee, sudah banyak masyarakat yang mendesak Presiden Jokowi untuk melakukan reformasi institusi Polri, namun hal itu tidak dilakukan.
"Presiden Jokowi terkesan lepas tanggung jawab dan tak segera mengevaluasi kinerja Kepolisian. Padahal terdapat berbagai alasan mendesak untuk mengevaluasi secara menyeluruh tubuh kepolisian agar kejadian serupa tidak terjadi kembali," ujarnya.
Dalam tiga tahun terakhir ini, KontraS juga menyoroti penggunaan senjata api oleh Polri. Penggunaan yang tidak profesional dinilai berdampak langsung kepada masyarakat.
"Terkadang kewenangan tersebut disalahgunakan sehingga acapkali menimbulkan tindakan pelanggaran seperti halnya penyiksaan (torture) dan pembunuhan di luar hukum (extra-judicial killing)," kata Rivanlee.
Salah satu kasusnya, yakni pembunuhan berencana yang terhadap Brigadir J yang dilakukan mantan Kadiv Propam Porli, Ferdy Sambo pada 8 Juli 2022.
"Ironisnya, kejadian ini terjadi tak berselang lama setelah Kapolri berpidato dalam perayaan HUT Bhayangkara di hadapan Presiden soal komitmen membenahi internal Polri pada 5 Juli 2022. Penembakan justru dilakukan oleh Kadiv Propam yang seharusnya bertugas untuk menegakkan etik anggota Kepolisian," ujar Rivanlee.
Kemudian, rekayasa kronologi juga turut disoroti KontraS, salah satu kasusnya yang disebut unlawful killing 6 Laskar Front Pembela Islam (FPI).
"Di sidang peradilan terbukti bahwa sejumlah warga sekitar (di TKP)diduga mengalami intimidasi oleh aparat untuk tidak merekam peristiwa dan bahkan diminta untuk menghapus file rekaman atas peristiwa penangkapan yang terjadi. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Komnas HAM ketika memberikan keterangan di persidangan," kata Rivanlee.
"Tindakan demikian merupakan upaya untuk mengaburkan atau menghilangkan jejak atas upaya paksa yang diduga berlebihan terhadap sejumlah anggota Laskar FPI," sambungnya.